STUDI ANALITIS TERHADAP KEPUTUSAN
IJTIMA’ ULAMA
KOMISI FATWA SE INDONESIA III MUI
TAHUN 2009
TENTANG HUKUM HARAM MEROKOK DALAM
PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam
Program Pendidikan Agama Islam
Oleh :
AHMAD ROYYAN
2211355
FAKULTAS TARBIYAH
PROGAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( UNISNU ) JEPARA
Alamat : Jl. Taman Siswa No. 9 Tahunan jepara59427
Tel./Fax : (0291) 593132
e-mail:inisnujpa@yahoo.co.id
LEMBAR
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawan ini;
Nama : AHMAD
ROYYAN
Nim :
2211355
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Jurusan : PAI
Fakultas : Tarbiyah
Judul Skripsi : Studi
Analitis Terhadap Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III MUI
Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok dalam Persepektif Hukum Islam.
Dengan ini menyatakan bahwa hasil
penulisan skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dan benar keasliannya.
Apabila ternyata di kemudian hari penulisan skripsi ini merupakan hasil plagiat
atau penjiplakan terhadap karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggung
jawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berdasarkan tata tertib yang
berlaku di Universitas Islam Indonesia.
Demikian pernyataan ini saya buat
dengan sebenarnya dan tidak dipaksakan.
Jepara
Desember 2013
Penulis,
(Ahmad Royyan)
MOTTO
ORANG BERHASIL MEMBERIKAN BUKTI, ORANG GAGAL
MEMBERIKAN
SERIBU ALASAN. HARTA DAN KEKAYAANKU AKAN DIBAWA
ANAK DAN KELUARGAKU, NAMUN SUMBANGANKU PADA ILMU PENGETAHUAN AKAN BERSINAR BAGAI
MUTIARA DI AMBANG PINTU PENGETAHUAN
KEBANYAKAN DARI MANUSIA MENGINGINKAN
KESEMPURNAAN, TAPI DIA TIDAK MENGETAHUI BAHWASANYA KESEMPURNAAN HANYA MILIK ALLAH
SWT
KETERBUKAAN SUDAH PASTI JUJUR, AKAN TETAPI
KEJUJURAN BELUM TENTU AKAN TERBUKA.
PESEMBAHAN
Sekripsi ini persembahkan kepada:
- Ayah Dan Ibuku Tercinta yang telah mendo’akan dan memberikan kasih sayang yang tak terbatas kepada Ananda
- adik-adikku Tersayang.
- Para sahabat dan teman seperjuangan yang penulis sayangi
- Teruntuk almamaterku Universitas Islam Nahdltotul ulama’ Fakultas Tarbiyah.
- Teman – teman Pon-pes Roudlotut Tholibin Bandungharjo Dan Dewan Guru MTs-SA. PP Roudlotut Tholibin Bandungahrj.
- Teman-teman Mahasiswa Universitas Islam Nahdlotutl Ulama’ falkultas Tarbiyah Yang Tidk terlupakan.
- Semua pihak yang membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, thanks for all
ABSTRAK
Penelitian
dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif. Penulis menggunakan
teknik pengumpulan data litereir atau library
research (study pustaka). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data
sekunder dengan bahan hukum primer
berupa al-Qur’an, Hadits dan Keputusan
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se
Indonesia III Tahun 2009 Tentang Hukum Haram
Merokok. Teknik analisis data yang
digunakan adalah deduksi dan deskriptif.
Sementara pendekatan yang penulis
gunakan dalam penulisan skripsi ini ada tiga:
pendekatan normatif, filosofis, dan
historis.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa MUI dalam fatwanya tentang
hukum haram merokok bagi anak-anak,
wanita hamil, dan di tempat umum. Prokontra
menyelimuti fatwa kontroversial
tersebut, terlebih daerah yang menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat dimana
perusahaan rokok berdiri.
Dibalik
pro-kontra tersebut, ada fakta yang unik, ternyata sebagian para ulama/kyai dalam
MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok. Bahkan kopi dan rokok
masih menjadi “menu utama”. Terkesan, bahwa fatwa yang dikeluarkan merupakan
keputusan final, absolut dan tidak menerima tafsir yang lain. Fatwa MUI terjebak dalam
“penalaran ekslusif” (exlusionary reasons) sehingga menafikan tafsir lain yang
sangat mungkin menyebar di berbagai pemikiran publik. Fatwa haram merokok, akan
berimbas pada kian bertambahnya jumlah pengangguran di Negeri Indonesia ini.
Sebab, tidak sedikit jumlah masyarakat yang menggantungkan nasibnya pada
produksi rokok, seperti buruh pabrik rokok, petani tembakau, dan penjual
asongan rokok. Mereka tentu akan menjadi korban paling parah jika ternyata perusahaan-perusahaan
rokok terpaksa bangkrut karena fatwa dan larangan merokok.
Berdasarkan
penelitian dalam skripsi ini, MUI dalam penetapan fatwa
Haram Merokok belum mengutamakan
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya dan memenuhi kebutuhan sekunder
serta kebutuhan pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara tidak ada tujuan kecuali salah satu
dari tiga unsure tersebut, dimana dari tiga unsur tersebut dapat terbukti
kemaslahatan manusia.
Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi
Hajiyah. Dan Hajiyah, juga Tahsiniyah tidak berarti
dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah.
Bahwa tujuan umum Syari’ dalam mensyariatkan hukum, ialah merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan
melenyapkan bahaya dari mereka. Karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini
terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah (kebutuhan pokok) hajiyah
(kebutuhan sekunder) dan tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah,
hajiyah dan tahsiniyah mereka telah terpenuhi,
berarti telah nyata kemaslahatan mereka.
KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الر حيم
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita dapat beraktivitas dengan baik, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya
meskipun masih terdapat kekurangan-kekurangan. Tak lupa shalawat serta salam kita
haturkan kepada sang Revolusioner Nabi Muhammad Saw yang telah merubah pola
pemikiran manusia dari pemikiran jahiliyyah menuju pemikiran yang qur’aniyyah
dan wahyuniyyah.
Di dalam
penyusunan skripsi ini, penyusun menyadari tentang banyaknya kendala dan
rintangan yang dihadapi baik yang bersifat teknis maupun non-teknis.
Namun berkat do’a, motivasi dan
kontribusi dari berbagai pihak, maka kendala dan
rintangan yang menghadang tersebut
mampu terlewati dan teratasi dengan baik.
Maka pada
kesempatan kali ini, penyusun menghaturkan ucapan terima kasih
kepada:
1. Rektor Universitas Islam
Nahdlotut Ulama’.
2. Dekan dan para pembantu dekan
Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas
Islam Nahdlotut Ulama’ Yogyakarta (Drs.
HM. Fajar Hidayanto, MM., Drs. H.A.F.Djunaidi, M.Ag) beserta staf.
3. Ketua Jurusan Tarbiyah ……….
sekretaris
Jurusan Tarbiyah………………..
4. Dosen pembimbing, …………………. Penyelesaian skripsi ini
tentu juga berkat kerja keras beliau, yang telah banyak meluangkan watunya untuk
mendiskusikan beberapa permasalahan yang penulis rasa penting mendengar
pendapat beliau. Oleh karenanya, beliau telah penulis anggap sebagai bagian tak
terpisahkan dari lahirnya skripsi ini.
5. Keluarga besar H. Simad As’ary,
tempat yang menjadi rumah dan keluarga serta telah banyak memberikan dukungan baik berupa
moral maupun materil.
Berkat dukungan keluarga besar
H.Simad As’ary penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Keluarga besar Pon-Pos Roudlotut
Tholibin, tempat yang menjadi rumah dan keluarga
serta telah banyak memberikan
dukungan baik berupa moral maupun materil.
Berkat dukungan keluarga besar Pon-Pos
Roudlotut Tholibin. Sanusi penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Ayah Dan Ibu, yang tanpa diminta
senantiasa selalu mendoakan untuk kesuksesan penulis. Tidak ada bahasa yang tepat
untuk menggambarkan peran yang telah mereka berdua berikan selama ini pada diri penulis.
Semoga Allah selalu memberikan kekuatan, kesehatan, dan kesuksesan pada
penulis untuk membuat mereka tersenyum dan bangga kepada penulis.
8. Adik-adikku, Nor Ali Fatun Najwa
dan Siti Assalil Mushoffi Najmu Naufal Hakim, dan Ismi Nabila. Yang selalu memaksa penulis
untuk pulang ke rumah saat liburan tiba demi bertemu untuk bercengkrama
dengan mereka dan jalan-jalan ke gunung, dan ke pantai. Kalian semua harus
lebih hebat dari kakak kalian.
9. Seorang wanita dengan inisial 3493 RF,
yang telah memberikan pelajaran hidup kepada penulis. Dan selalu membangkitkan
semangat pada diri penulis dalam melakukan segala aktivitas. Berkat hadirnya
dirimu serta dukungan moral dan materilmu penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Engkaulah inspirasiku, semangat hidupku.
10. Teman-teman HMI UII, yang siap sedia
untuk meluangkan waktunya hanya
untuk berdiskusi dengan penulis.
11. Tinto Wardani, Hendro Iswahyudi.
Teman penulis yang telah memberikan fasilitas berupa laptop, komputer, printer serta
kopi dan rokok 234 yang selalu disediakan setiap penulis menggarap skripsi.
12. Teman-teman rental mobil: Sukendar,
Mitro, Enggar, Aying, Soni, Ridho, dan Iman. Berkat dukungan doa dan materil penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga rental kita tambah sukses, go nasional dan
internasional.
13. Teman-teman angkatan 2011 khususnya
jurusan Tarbiyah, semoga Yang lulus
duluan semoga sukses selalu dan tidak
melupakan persahabatan kita.
14. Staf perpustakaan Fakultas Ilmu Agama
Islam dan perpustakaan pusat
Universitas Islam Indonesia atas bantuan
kemudahan dalam peminjaman referensi.
Urutan ucapan terimakasih ini sama sekali
tidak dimaksudkan untuk
memberikan urutan prioritas. Urutan
tersebut hanya merupakan persoalan “budaya
ilmiah” yang berlaku sampai saat ini.
Bagaimanapun juga semua kalangan di atas
telah memberikan kontribusi kepada
penulis,tidak terkecuali dalam proses
penyusunan skripsi ini, sesuai dengan
wilayah yang menjadi bagian mereka. Hanya ucapan terimakasih
setidaknya hal terkecil yang bisa penulis berikan kepada mereka di dunia.
Sementara apa yang menjadi hak mereka kelak di sisi Allah, penulis hanya bisa mendoakan
semoga Allah membalas segala perbuatanmu dengan sebaik-baiknya balasan.
Layaknya sebuah
karya tulis pada umumnya yang merupakan karya cipta manusia, di dalam karya ini
pasti terdapat berbagai kekurangan. Oleh karenanya, kritik dan
saran tetap penulis butuhkan demi tercapainya sebuah karya yang lebih baik. Akhirnya
penulis hanya bisa berdoa kepada Allah semoga lahirnya karya kecil ini dapat
memperkarya khazanah keilmuan Islam dan tentunya dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada masyarakat.Yogyakarta, 11 Juli 2009 Penyusun, (Afriyana)
TRANSLITERASI
1. Konsonan
Di bawah ini daftar huruf arab dan
transliterasinya dangan huruf latin
Huruf arab Nama Huruf latin Nama
ا Alif
tidak dilambangkan tidak dilambangkan
ب Ba
b be
ت Ta
t te
ث Sa
s es (dengan titik di atas)
ج Jim
j je
ح Ha
h ha (dengan titik di bawah)
خ Kha
kh ka dan ha
د Dal
d de
ذ Zal
z zet (dengan titik di atas)
ر Ra
r er
ز Zai
z zet
س Sin
s es
ش Syin
sy es dan ye
ص Sad
s es (dengan titik di bawah)
ض Dad
d de (dengan titik di bawah)
ط Ta
t te (dengan titik di bawah)
ظ Za
z zet (dengan titik di bawah)
ع ‘ain
‘ koma terbalik (di atas)
غ Gain
g ge
ف Fa
f ef
ق Qaf
q ki
ك Kaf
k ka
ل Lam
l el
م Mim
m em
ن Nun
n en
و Wau
w we
ه Ha
h ha
ء Hamzah
‘ apostrof
ى Ya
y ye
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal
bahasa Indonesia yang terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal
rangkap atau diftong.
1). Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang
lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
fathah a a
kasrah i i
hammah u u
2). Vokal Rangkap
Vokal rangkap dalam bahasa Arab yang
lambangnya berupa gabungan
antara harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
يْ ... fathah dan ya ai a dan i
وْ ... fathah dan wau au a dan u
Contoh:
آتََبَ - kataba
فَعَلَ - fa’ala
ذُآِرَ - zukira
يَذْهَبُ - yazhabu
سُئِلَ - su”ila
آَيْفَ - kaifa
هَوْلَ - haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang
lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan
tanda, yaitu:
Harkat dan huruf Nama Huruf dan
tanda Nama
ا...ىَ ... fathah dan alif atau ya a
a dan garis di atas
ى ... kasrah dan ya I i dan garis di
atas
و ... Hammah dan wau u u dan garis
di atas
Contoh:
قاَلَ - qala
رَمىَ - rama
قِيْلَ - qila
يَقُوْلُ - yaqulu
4. Ta’marbutah
Transliterasi untuk ta’marbutah adan
dua:
1. Ta’marbutah hidup
Ta’marbutah yang hidup atau mendapat
harakat fathah, kasrah dan dammah,
transliterasinya adalah “t”.
2. Ta’marbutah mati
Ta’marbutah yang mati atau mendapat
harakat sukun, transliterasinya dalah
“h”.
3. Kalau pada kat aterakhir denagn
ta’marbutah diikuti oleh kata yang
menggunkan kata sandang al serta
bacaan kedua kata itu terpisah maka
ta’marbutah itu ditransliterasikan
dengan ha(h).
Contoh:
رَوْضَةُ الأ طْفاَلُ - raudah
al-atfal
- raudatul atfal
المَدِيْنَةُ المُنَوّ رَةٌ -
al-Madinah al-Munawwarah
- al-Madinatul-Munawwarah
طَلْحَةْ - talhah
5. Syaddah
Syaddah atau tasydid yang dalam
tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda, tanda syaddah atau tasydid,
dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut
dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama denganhuruf yang diberi tanda
syaddah itu.
Contoh:
رَبَّنَا - rabbana
نَزَّلَ - nazzala
البِرّ - al-birr
الحَجّ - al-hajj
نُعِّمَِ - nu’’ima
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, yaitu ال , namun
dalam transliterasi ini kata sandang
itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyah dan kata sandang
yang diikuti huruf qamariyah.
1). Kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf
syamsiyah ditranslite-rasikan dengan
bunyinya, yaitu huruf /1/ diganti
dengan huruf yang sama dengan huruf yang
langsung mengikuti kata sandang itu.
2). Kata sandang yang diikuti oleh huruf
qamariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf
qamariyah ditranslite-rasikan sesuai aturan
yang digariskan di depan dan sesuai
dengan bunyinya.
Baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyah, kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti
dan dihubungkan dengan tanda sempang.
Contoh:
الرَّجُلُ __________- ar-rajulu
السَّيِّدُ - as-sayyidu
الشَّمْسُ - as-syamsu
القَلَمُ - al-qalamu
البَدِيْعُ - al-badi’u
الجَلاَلُ - al-jalalu
7. Hamzah
Dinyatakan di depan bahwa
ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya
berlaku bagi hamzah yang terletak di
tengah dan diakhir kata. Bila hamzah itu
terletak diawal kata, isi
dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh:
تَأْخُذُوْنَ - ta’khuzuna
النَّوْءُ - an-nau’
شًيْئٌ - syai’un
إِنَّ - inna
أُمِرْتُ - umirtu
أَآَلَ - akala
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik
fi’il, isim maupun harf ditulis terpisah. Hanya
kata-kata tertentu yang penulisannya
dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan
dengan kata lain karena ada huruf atau
harakat yang dihilangkan maka transliterasi
ini, penulisan kata tersebut
dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ خَيْرُ
الرَّازِقِيْنَ Wa innallaha lahuwa khair ar-raziqin
Wa innallaha lahuwa khairraziqin
وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ
Fa auf al-kaila wa-almizan
Fa auf al-kaila wal mizan
إِبْرَاهِيْمُ الْخَلِيْل Ibrahim
al-Khalil
Ibrahimul-Khalil
بِسْمِ اللهِ مَجْرَاهاَ وَمُرْسَاهاَ
Bismillahi majreha wa mursaha
وَللهِ عَلىَ النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
Walillahi ‘alan-nasi hijju al-baiti
manistata’a
ilaihi sabila
Walillahi ‘alan-nasi hijjul-baiti
manistata’a
ilaihi sabila
9. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab
huruf capital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf tersebut
digunakan juga. Penggunaanhuruf kapital seperti apa
yang berlaku dalam EYD, di
antaranya: Huruf kapital digunakan untuk menuliskan
huruf awal nama diri dan permulaan
kalimat. Bilamana nama diri itu didahului oleh
kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
terebut, bukan huruf awal kata
sandangnya.
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُوْلٌ Wa
ma Muhammadun illa rasl
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ
لِلنَّاسِ لَلَّذِى
بِبَكَّةَ مُبَارَآاً
Inna awwala baitin wudi’a linnasi
lallazi
bibakkata mubarakan
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى أُنْزِلَ
فِيْهِ
الْقُرْا~نُ
Syahru Ramadan al-lazi unzila fih
al-
Qur’anu
Syahru Ramadanal-lazi unzila
fihl-Qur’anu
وَلَقَدْ رَا~هُ بِالأُفُقِ
الْمُبِيْنِ Wa laqad ra’ahu bil-ufuq al-mubin
Wa laqad ra’ahu bil-ufuqil-mubin
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنِ
Alhamdu lillahi rabbil al-‘alamin
Alhamdu lillahi rabbilil-‘alamin
Penggunaan huruf awal kapital hanya
untuk Allah bila dalam tulisan Arabnya
memang lengkap demikian dan kalau
tulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga
ada huruf atau harakat yang
dihilangkan, huruf kapital tidak digunakan.
Contoh:
نَصْرٌ مِّنَ اللهِ وَفَتْحٌ قَرِيْبٌ
Nasrun minallahi wa fathun qarib
للهِ الأَمْرُ جَمِيْعاً Lillahi
al-amru jami’an
Lillahil-amru jami’an
وَاللهَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ
Wallaha bikulli syai’in ‘alim
DAFTAR ISI
Halaman Judul
............................................................................................
I
Surat Pernyataan
.........................................................................................
Ii
Nota Dinas
..................................................................................................
Iii
Halaman Pengesahan
..................................................................................
Iv
Halaman Motto
...........................................................................................
V
Halaman Persembahan
................................................................................
Vi
Abstraksi
.....................................................................................................
Vii
Kata Pengantar
............................................................................................
Viii
Transliterasi
.................................................................................................
Xii
Daftar Isi .....................................................................................................
xx
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
............................................................... 1
B.
Rumusan Masalah
........................................................................ 6
C. Tujuan
Penelitian
.......................................................................... 7
D.
Manfaat Penelitian
........................................................................ 7
E.
Tinjauan Pustaka ...........................................................................
8
F.
Landasan Teori
..............................................................................
9
1. Teori
tentang fatwa ............................................................. 9
2. Teori
istinbath hukum ......................................................... 10
G. Metode
Penelitian
......................................................................... 11
1. Jenis penelitian
................................................................... 11
2. Sifat
penelitian .................................................. .................. 12
3.
Pendekatan masalah ...........................................................
12
4. Sumber
data ....................................................................... 12
5. Analisis
data ....................................................................... 12
H.
Sistematika Pembahasan
............................................................... 13
BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG
FATWA MUI
A. Metode
istinbath hukum MUI dalam menetapkan fatwa ............... 15
B.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang rokok 16
C.
Prosedur penetapan fatwa
.............................................................. 19
D.
Kedudukan fatwa dalam hukum Islam .......................................... 23
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG
ROKOK
A.
Deskripsi umum tentang tembakau................................................
26
1.
Sejarah tembakau
............................................................... 26
2.
Kandungan yang membahayakan dalam tembaka............... 32
3. Aspek
manfaat dari tembakau............................................. 32
B. Rokok
dan permasalahannya ........................................................ 34
1.
Sejarah rokok di Indonesia ................................................. 34
2.
Industri rokok dan pengaruhnya terhadap perekonomian.... 38
3.
Pengaruh rokok terhadap kesehatan ................................... 42
C. Rokok
dalam pandangan ilmuwan muslim .................................... 45
1.
Pandangan yang membolehkan ........................................... 45
2. Pandangan yang mengharamkan
......................................... 47
BAB IV FATWA MUI TENTANG ROKOK
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Aspek
metode istinbath hukum .................................................... 49
B. Aspek
manfaat dan mudharat merokok ........................................ 61
C. Aspek
kaidah hukum Islam dalam menganalisa kontroversi seputar
rokok
................................................................................................
66
D. Aspek
pendapat ilmuwan muslim ................................................ 71
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan ..................................................................................
76
B. Saran
.............................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut
sejarah, masyarakat di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku
bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh.
Pada abad 16, ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para
penjelajah Eropa itu ikut-ikutan mencoba menghisap rokok dan kemudian membawa
tembakau ke Eropa.1 Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan
bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan
ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata.
Abad 17
Masehi, para pedagang Spanyol masuk ke Turki, dan pada saat itu, kebiasaan
merokok mulai masuk Negara-negara Islam. Jadi usia rokok belumlah terlalu lama,
sekitar 3 abad lebih.
Dengan
demikian, jelas sekali bahwa ketika Rasul Saw dan para sahabat yang hidup pada
abad ke 6-7 Masehi, tidak dikenal dengan adanya rokok. Itulah sebabnya dalam
berbagai sunnah dan sirah Nabi atau sejarah para sahabat kita tidak menemukan
dalil adanya masalah rokok ini. Pro-Kontra mengenai hukum merokok menyeruak ke
publik setelah muncul tuntutan beberapa kelompok masyarakat yang meminta
kejelasan hukum merokok.
Sehingga
mengenai boleh tidaknya merokok menimbulkan perdebatan dan beda
pendapat (khilafiah) para
ulama Khalaf (kontemporer), ada yang membolehkannya, memakruhkannya dan
ada pula yang mengharamkannya. Namun kebanyakan para ulama memakruhkannya
(yakni bila dikerjakan tidak berdosa, tetapi jika ditinggalkan mendapat
pahala).2Telah banyak riset membuktikan bahwa rokok dapat menyebabkan
kecanduan. Di samping itu rokok juga
dapat menyebabkan banyak tipe kanker, 1 Muhammad Jaya, Pembunuh Berbahaya itu
Bernama Rokok, (Yogyakarta: Riz’ma, 2009), hal.
14.
2 Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 336.
penyakit jantung, penyakit
pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi
kelahiran, dan emfisema.
Masyarakat mengakui bahwa industri
rokok telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang cukup besar. Industri
rokok juga telah memberikan pendapatan yang cukup besar bagi Negara. Bahkan,
tembakau sebagai bahan baku rokok telah menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian
petani.
Namun
disisi yang lain, merokok dapat membahayakan kesehatan (dharar) serta
terjadinya pemborosan (israf)
dan merupakan tindakan tabdzir.3 Secara ekonomi, penanggulangan bahaya merokok
juga cukup besar.
Rokok merupakan penyebab utama
penyakit di seluruh dunia yang sebenarnya dapat dicegah dan mempunyai pengaruh
yang sangat berarti terhadap kesehatan masyarakat.4
Asap rokok mengandung lebih dari
4.000 zat kimia, 40 diantaranya
merupakan penyebab kanker dan
menimbulkan kerusakan fungsi organ, bahkan
menyebabkan kecacatan organ tubuh
pada bayi jika sang ibu seorang perokok.
Bahaya rokok tidak hanya menyerang
perokok itu sendiri, melainkan juga bagi
perokok pasif, yaitu orang-orang di
sekitarnya.5
Dampak negatif rokok bagi kesehatan
tubuh tak hanya pada berbagai jenis kanker, tapi perokok aktif juga berisiko
dua kali lipat untuk terkena sklerosis kompleks (MS), suatu penyakit yang
menghancurkan protein (myelin) yang menyelimuti serabut saraf.6
Penyakit yang paling umum menyerang
para perokok, selain masalah kardiovaskular, adalah serangan jantung, nyeri
dada, dan meningkatkan risiko terkena asma. Menurut para peneliti, rokok
menyerang sistem kekebalan dan membuat manusia rentan terhadap infeksi,
terutama yang menyerang tenggorokan. Inilah yang memicu permasalahan pada
sistem saraf.
Bagaimana reaksi anda, manakala
rekan sebangku anda di kendaraan umum, asyik merokok? Apakah anda diam walau
hal itu terasa mengganggu?
3 IJMA’ ULAMA, Keputusan Ijtima
Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III, (MUI, 2009), hal.
56.
4
http://www.64.203.71.11/ver1/kesehatan.diakses 01 Juni 2009.
5 A. Setiono Mangoenprasodjo, Sri
Nur Hidayati, Hidup Sehat tanpa Rokok (Yogyakarta:
Pradipta Publishing, 2005), hal. 5.
6 http://www.pom.go.id diakses 01
Juni 2009 Ataukah anda menegurnya? Jika anda menegur dan si perokok
menghentikan aktivitasnya, anda patut bersyukur. Sebab, anda terhindar dari
berbagai macam penyakit akibat rokok. Toh, sehat adalah hak anda, karena itu
anda patut menegurnya. 7 ada zaman modern saat ini, rokok bukanlah benda asing
lagi.
Bagi mereka
yang hidup di kota maupun di desa umumnya mereka sudah mengenal
benda yang bernama rokok ini. Bahkan
oleh sebagian orang, rokok sudah menjadi kebutuhan hidup yang tidak bisa
ditinggalkan begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa alasan yang jelas
seseorang akan merokok, baik setelah makan, setelah minum kopi atau teh, bahkan
sambil bekerja pun seringkali diselingi dengan merokok.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70
hingga 120 mm (bervariasi tergantung Negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang
berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada
ujung lain.8 Meski sudah ribuan artikel ilmiah yang membuktikan bahayanya merokok.
Namun
kenyataannya sebagian besar bangsa Indonesia telah menjadi konsumen aktif
rokok. Bagi mereka rokok sudah disetarakan dengan makana yang mereka konsumsi
sehari-hari, bahkan ada yang menempatkan pada urutan pertama dalam kebutuhan
hidupnya. Gaya hidup yang tidak sehat ini pernah disinggung oleh seorang
penyair, Taufiq Ismail, lewat goresan penanya telah membuahkan puisi yang
diberi judul “Indonesia Keranjang Sampah Nikotin”.9 Ini berarti, bahwa racun
“nikotin” yang terkandung dalam rokok telah menyelimuti kehidupan bangsa
Indonesia, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dan bahkan bayi yang belum
lahir pun sudah terkontaminasi racun yang berasal dari kepulan asap rokok yang
dihisap ibu yang mengandungnya baik
sang ibu sebagai perokok aktif
maupun pasif.
7 A. Setiono Mangoenprasodjo, Sri
Nur Hidayati, Hidup Sehat tanpa Rokok (Yogyakarta:
Pradipta Publishing, 2005), hal. V.
8
http://www.kelompok-clover.blogspot.com/2007/09/sejarah rokok.html.diakses 01
Juni 2009
9 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok
Haram (Surabaya: PT Java Pustaka, 2008), hal.1.
Nikotin adalah salah satu racun
kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok. Padahal masih ada beribu-ribu
racun lagi yang tak kalah berbahayanya misalnya; dalam kepulan asap rokok
terkandung 4000 racun kimia yang sangat membahayakan kesehatan baik bagi
perokok aktif maupun pasif.
Ironisnya
43 diantaranya bersifat karsinogen atau racun kimia yang merangsang
tumbuhnya kanker. Mengingat dampak rokok
sangat mengancam masa depan bangsa, maka Organisasi Kesehatan Dunia WHO membuat
program tentang larangan merokok di tempat umum yang sudah diterapkan oleh
beberapa Negara seperti: Singapura, Vietnam, India dan lain-lain. Bahkan di
India, DPR-nya mengeluarkan UU Anti merokok. Negeri ini bukan hanya
memberlakukan larangan merokok di tempat umum, tetapi juga melarang iklan rokok
dan menjual rokok di dekat lembaga pendidikan. Bagaimana dengan negeri kita tercinta
ini ? Alhamdulillah, meski dirasakan sudah agak terlambat, namun pemimpin
negeri ini sudah mulai berpikir ke arah sana sehingga pada tahun
2006 muncul Peraturan Daerah (Perda)
tentang larangan merokok di tempat umum. Walaupun di Indonesia ini baru ada
satu daerah yang mengikuti program WHO, yaitu Pemerintah daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta, yang sudah mulai memberlakukan Perda tentang larangan merokok di
tempat umum sejak 1 Januari 2006.10 Setiap tanggal 31 Mei ditetapkan sebagai World
No Tobacco Day.
Berbagai
kegiatan dan kampanye tentang bahaya rokok dilaksanakan diseluruh
dunia dalam rangka memperingati hari
tersebut.11Peringatan Hari tanpa rokok sedunia, diharapkan menjadi kesempatan bagi
kita semua untuk berpikir sejenak dan menyadari kembali akan bahaya dan dampak
rokok, baik untuk diri kita sendiri, maupun untuk anggota keluarga dan masyarakat
banyak. Jika kita lihat kondisi Negara kita, jumlah orang yang merokok semakin
bertambah. Salah satunya disebabkan karena semakin
rendahnya usia anak muda yang mulai
merokok.
Salah
satu hasil konsensus Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (KF-MUI) di Padang
Panjang akhir Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang 10 Ibid, hal. 2 11
http://www.organisasi.org.diakses 02 Juni 2009 hukum haramnya merokok bagi
anak-anak, wanita hamil, dan di tempat umum.
Pro-kontra
menyelimuti fatwa kontroversial tersebut, terlebih daerah yang menjadi tempat
tembakau berkembang biak dan tempat dimana perusahaan rokok berdiri.12 Dibalik
pro-kontra tesebut, ada fakta yang unik, ternyata sebagian para ulama/ kyai
dalam MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok.
Bahkan
kopi dan rokok masih menjadi “menu utama” di berbagai pesantren di
Jawa. Setiap sowan di rumah kyai,
pastilah kopi dan rokok menjadi “menu utama” sang kyai. Tanpa kopi dan rokok,
mengaji dan belajar terasa hambar dan kurang sreg, serta inspirasi berkarya
terasa tumpul. Inilah realitas dibalik bilik pesantren di Jawa. Walaupun tidak
semua, tetapi mayoritas mengakui demikian adanya.13 Terkesan, bahwa fatwa yang
dikeluarkan merupakan keputusan final, absolut, dan tidak menerima tafsir yang
lain. Fatwa MUI terjebak dalam”Penalaran Ekslusif” sehingga menafikkan tafsir
lain yang sangat mungkin menyebar di berbagai pemikiran publik.14 Meminjam
bahasa Friedman, tidak ada “Praduga Epistimologis” dimana MUI sebagai pemegang
otoritas fatwa
membagi epistimologi pangetahuan
tertentu kepada mereka yang mentaati.
Sehinggga terbuka dialog dan sharing
yang saling memberikan kemaslahatan
satu dengan yang lain.
Sikap
fatwa MUI inilah, kalau meminjam analisis Kholed M Aboe El-Fadl dalam “Speaking
In God’s Name”, telah terjebak dalam sikap otoriter.
Sikap
otoriter yang lama berlangsung menjadi sindrom kuatnya otoriterianisme.
Otoriterianisme selalu bersikap
untuk “mengunci” tafsir lain, dan selalu berkehendak mutlak, final dan absolut.
Sikap “mengunci” yang dibarengi “pengekangan” dan “hegemoni” yang tidak
menghendaki tafsir lain bersuara.
12 IJMA’
ULAMA, Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III, (MUI, 2009), hal.
57.
13 Muhammad Yunus BS, Kitab Rokok
Nikmat & Mudharat Yang menghalalkan atau
Mengharamkan, (Yogyakarta: CV Kutub
Wacana, 2009), hal. Vi 14 Ibid, hal. vii
Ingin menjadi suara tunggal yang
ditaati dan dijalankan tanpa reserve/cadangan.15
Merokok seolah menjadi budaya. Hal
ini ditambah dengan gencarnya iklan-iklan rokok yang mengidentikkan perokok
dengan kejantanan, kesegaran, dan keperkasaan. Bagi pria, semakin muda usia
mereka menghisap rokok, maka semakin tumbuh rasa bangga. Setali tiga uang, bagi
kaum wanita, merokok adalah bagian dari life style modern.16
Namun sebenarnya masyarakat awam pun
tahu, dibalik kenikmatan dan pamor merokok, ada maut yang mengintip. Bukan cuma
untuk si perokok, melainkan juga untuk mereka yang ada di sekitar si perokok.
Demikianlah,
rokok memang tak ubahnya pisau bermata dua. Di satu sisi, jika ia tetap
dibiarkan beredar maka dapat menimbulkan ancaman cukup besar bagi kesehatan
manusia, namun di sisi lain jika peredarannya dilarang maka akibatnya pun akan
lebih besar lagi. Maka dengan adanya fatwa haram merokok yang di keluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia, menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat. Di
satu sisi ada yang setuju, namun di sisi lain banyak yang menolak.
Kita
semua sudah sama-sama sadar bahwa yang menjadi musuh bersama adalah kemelaratan
dan kesengsaraan. Merokok dapat menimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan. Namun
melarang merokok pun juga dapat menimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan.
Menurut penulis, jalan mana yang dianggap dan diyakini paling benar, maka
itulah yang mesti kita ambil.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus penelitian
dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana metode MUI dalam menetapkan fatwa ?
2.
Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi lahirnya Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa tentang Haram Merokok ?
15 Muhammad Yunus BS, Kitab Rokok
Nikmat & Mudharat Yang menghalalkan atau
Mengharamkan, (Yogyakarta: CV Kutub
Wacana, 2009), hal.vii
16
http://www.images.google.co.id.diakses 02 Juni 2009
3. Bagaimana Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa Se Indonesia III MUI tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok dalam
Persepektif Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Untuk
mengetahui tujuan penulisan skripsi dari hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se
Indonesia III MUI Tahun 2009 Tentang Hukum Haram Merokok. Maka, dengan
memperhatikan rumusan masalah di atas adalah untuk:
1. Metode
penetapannya
2.
Faktor-faktor yang melatarbelakanginya
3. Dalam
Persepektif Hukum Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis (keilmuan)
Manfaat
yang utama dalam penyusunan skripsi ini bagi mahasiswa adalah sebagai syarat
untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dan untuk mendapat gelar kesarjanaan
yakni Sarjana Hukum Islam (SHI). Dalam pada itu hasil penelitian ini dapat
memberikan kontribusi aktif bagi para mahasiswa, khususnya penyusun untuk
mengetahui lebih jauh tentang Fatwa Haram Merokok yang dikeluarkan oleh Komisi
Fatwa MUI. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi untuk
menganalisis fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Dari pada itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan
bagi peneliti berikutnya sekaligus dapat menjadi nilai tambah bagi khazanah
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada dataran Hukum Perdata Islam.
2. Manfaat Praktis (bagi masyarakat)
Penelitian
yang membahas tentang Hukum Haram Merokok yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa
MUI. Diharapkan dapat berguna bagi masyarakat luas, dan dapat terbaca luas oleh
masyarakat serta menjadi bahan renungan masyarakat. Agar masyarakat mempunyai
jiwa yang kritis dan peka terhadap permasalahan-permasalahan agama yang aktual,
karena fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia masih bisa
dikritisi bahka bisa dibuat konsep tandingannya. Karena Islam dilahirkan untuk
memudahkan umatnya bukan untuk
menyulitkan umatnya.
E. Tinjauan Pustaka
Salah
satu penelitian yang membahas masalah rokok adalah penelitian K.H. Ghufron Maba
yang berjudul Ternyata Rokok Haram Tekanan pokok dari penelitian ada
tiga hal yaitu: racun-racun yang terdapat pada rokok, berbagai penyakit yang
terkait dengan rokok, dan pandangan Islam tentang rokok.
Mengingat
masalah ini berkaitan dengan hukum pada rokok, maka dalam buku
ini kami jelaskan pula berbagai
permasalahan tentang hukum Islam dan kaidahkaidah
hukumnya sehingga dapat diambil
istimbath untuk menetapkan sebuah hukum pada rokok. Di samping itu, kami juga
berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan dalil dan hujjah yang
argumentatif yang dapat dipertanggungjawabkan dalam mengkritisi orang-orang
yang masih mempertahankan rokoknya.
Penelitian
yang membahas tentang rokok juga pernah dilakukan oleh M. Yunus BS yang
berjudul Kitab Rokok Nikmat & Mudharat Yang Menghalalkan atau
Mengharamkan tekanan pokok dari penelitian ini tentang status hukum yang
dijelaskan dalam buku ini tergantung atas illatu al-ahkam (alasan
penjatuhan status hukum) dari berbagai kasus yang ada. Baik yang mengharamkan
dan menghalalkan selalu menyertai illat (alasan) hukumnya.
Karakter
yang melekat dalam hukum Islam adalah perubahan. Hukum akan
selalu berubah sesuai dengan
perubahan waktu, tempat, dan keadaan.
Penelitian
yang penulis lakukan dalam skripsi ini tentu memiliki perbedaan dengan
karya-karya di atas. Secara materi, tulisan ini hanya focus terhadap fatwa MUI
tentang hukum haram merokok. Sementara dari segi teori, studi ini dimaksudkan
untuk menganalisis pemikiran MUI dalam kaitannya dengan isi maupun cara
kerjanya. Yang pertama, untuk membantu menambah pengetahuan tentang fikih (hukum
Islam), dan yang kedua tentang ushul fiq (teori hukum Islam), dua pokok
penting dalam menerapkan kedudukan pemikiran hukum Islam. Selanjutnya studi ini
fokus terhadap bagaimana metode dalam penetapan fatwa, faktor-faktor yang
melatarbelakangi lahirnya fatwa, dan
perspektif dalam hukum Islam.
F. Landasan Teori
1. Teori tentang fatwa
Pengertian
fatwa keagamaan menurut arti bahasa adalah suatu jawaban dalam suatu kejadian
(memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam
masyarakat). Menurut Imam Zamahsyari dalam bukunya “Al Kasyaf” pengertian
fatwa adalah suatu jalan yang lempang/lurus.
Sedangkan
fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah
dalam menjawab suatu perkara yang
diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas/terang atau
tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni
kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat banyak.17
Sebagaimana uraian terdahulu bahwa
Fatwa dan Ijtihad mempunyai korelasi yang sangat erat, sebab keduanya
dihasilkan dan diusahakan oleh para ahli hukum/mujtahid/mufti. Kalau kita
teliti secara jujur bahwa fatwa merupakan kumpulan nasihat atau jawaban dari
para ahli hukum Islam yang dituangkan dalam rangka menyebarluaskan ajaran Islam
kepada masyarakat yang dihasilkan berdasarkan Ijtihad yang sungguh-sungguh.18
Sebaliknya pemikiran hukum yang
khusus dan ekslusif akan kaku dan salah, dimana pemikiran tersebut tidak dapat
diidentikkan dengan hukum Islam.
Sehingga
idealnya yang dapat kita namakan sebagai “Islami” adalah bersumber
dari kitab agama Islam dan
dijelaskan oleh Nabinya. Seluruh pemikiran hukum Islam (yang dihasilkan
berdasarkan ijtihad yang dituangkan dalam fatwa keagamaan) dari orang-orang
muslim dapat kita katakan sebagai “Islami”, akan tetapi pencapaian karakter ke
Islaman ditetapkan oleh Islam sendiri, yakn melalui syari’ah.
17 Drs. H. Rohadi Abd. Fatah,
Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 7
18 Ibid, hal. 49
Dengan
membedakan antara syari’ah dengan karya-karya ahli hukum Islam (mujtahid dan
para mufti) kita dapat melihat semangat perkembangan yang dihasilkan oleh
ajaran-ajaran Islam. Salah satu sisi yang dapat membedakan dan membatasi
finalitas yang otoriter hanyalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab ijtihad hukum
Islam yang dituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan tidak akan berhenti, baik
sebagai pemikiran tentang implikasi teks (nash) itu, maupun pemikiran yang
berkaitan dengan kejadian-kejadian yan terjadi ketika absennya teks-teks/tidak
ditemuinya secara kongkrit teks-teks
tersebut secara langsung. Dalam
konteks ini Prof. Gibb mengatakan19 bahwa: Al-Qur’an dan Al Hadits, sebagaimana
sering kita ucapkan bukanlah dasar renungan undang-undang Islam akan tetapi
hanya sebagai sumbernya saja.
Fondasi
yang nyata dapat dilihat dari sikap pemikiran yang menentukan metode
penggunaan sumber tersebut. Fatwa
pada zaman modern ini atau fatwa kontemporer haruslah mempunyai identitas,
yaitu :
a. Fatwa
hendaklah sebagai hasil suatu pengerahan pengetahuan secara optimal.
b. Tidak
boleh memfatwakan hukum yang zhanni sebagai hukum yang qath’i.
c. Fatwa
tidak boleh dipengaruhi realita modern.
2. Teori istinbath hukum
Nash yang
menjadi dalil hukum Islam baik Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama maupun
Sunnah Nabi Saw sebagai sumber kedua adalah berbahasa arab. Untuk memahaminya
dengan baik membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan ilmu bahasa arab dengan
baik pula.20 Seseorang yang ingin mengistinbatkan/mengambil hukum dari sumber-sumber
tersebut harus betul-betul mengetahui bahasa arab dengan seluk beluknya. Ia
harus mengerti betul kehalusan dan kedalaman yang dimaksud oleh
bahasa itu (dalalahnya). Begitu pula
harus dipahami tentang cara-cara mengutarakan sesuatu, apakah dengan bentuk
hakekat ataukah dengan bentuk majaz (qiyasan). Kesemuannya ini harus ada
kemampuannya dalam memahami hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
19 Ibid, hal. 51
20 Drs. H. Kamal Muchtar, dkk, Ushul
Fiqh (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 1Karena itulah ulama ushul
menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau dalil yang berbahasa
arab itu dapat dipahami dengan baik dan sempurna. Untuk itu mereka telah
menciptakan beberapa kaidah lughawiyah untuk dapat memahami nash dan
dalil agar hukum-hukum dapat dipetik dari dalil yang menjadi pegangan hukum
tersebut. Seseorang yang ingin mengistinbatkan hukum dari dalil-dalil harusnya
lebih terdahulu mempelajar apa yang dinamakan methode mengeluarkan hukum dari
dalilnya.
Pada
tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan fatwa
diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasardasar
untuk mengeluarkan fatwa, menurut
urutan tingkatannya adalah: al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Hal ini masih
harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha
yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.21
G. Metode Penelitian
Dalam
melacak, menjelaskan dan menyampaikan obyek penelitian secara integral dan
terarah, maka penyusun menggunakan metode sebagai berikut :
1.
Jenis
penelitian
Jenis penelitian ini adalah pustaka (library
research).22 Yaitu kajian merujuk pada data-data yang ada pada referensi
berupa buku-buku dan kitabkitab yang terkait dengan topik penelitian. Dalam
kajian pustaka ini, penyusun berupaya mengumpulkan data mengenai hukum haram
merokok dalam persepektif hukum Islam. Di samping itu, penyusun menggunakan
pula sumber-sumber lain yang berkaitan dengan sumber-sumber primer dan ditempatkan
sebagai sumber sekunder.
- Sifat penelitian
21 M. Atho Mudzhar, Fatwa, hal. 87 22
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2001), hal 113
Penelitian
ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu data-data yang ada disusun, dijelaskan
dan kemudian dianalisa.23 Penelitian ini menguraikan dan menggambarkan Hukum
Haram Tentang Merokok dalam Pandangan Hukum Islam, kemudian menganalisa dan
menyimpulkan secukupnya.
- Pendekatan masalah
Pendekatan
ini menggunakan pendekatan normatif, yaitu menganalisa data dengan menggunakan
pendekatan dalil atau kaidah yang menjadi pedoman perilaku manusia. Selanjutnya
menggunakan pendekatan filosofis, yaitu kajian tentang hukum haram merokok.
Selain itu juga menggunakan pendekatan historis, yaitu mempelajari satu bidang
tertentu yang muncul sepanjang sejarah pada aliran-aliran atau tokoh-tokoh.24
- Sumber data
Data-data
yang penyusun kumpulkan untuk menyusun skripsi ini yaitu keputusan ijtima
komisi fatwa se Indonesia III tahun 2009, kitab-kitab fiqh, pedoman dasar MUI,
buku-buku tentang rokok serta data tambahan yang ada relevansinya dengan
masalah di atas.
- Analisis data
Deduksi,
yaitu metode yang bertitik tolak pada data-data yang universal (umum), kemudian
diaplikasikan ke dalam satuan-satuan yang singular (khusus/bentuk tunggal) dan
mendetail.25 Dalam penelitian ini menguraikan tentang hukum haram merokok, kemudian
mengungkap pendapat para ulama muslim tentang hukum haram merokok dan
penjelasanpenjelasan yang terkait dengan hal tersebut.
Deskriptif
, yaitu penelitian dengan jalan mengumpulkan data, mengklasifikasikannya,
menganalisa dan menginterpretasikannya.26 Dalam penelitian ini, penyusun
mengumpulkan data tentang hukum haram merokok 23 Winarno surakhmad, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, ( Banndung:
Tarsito, 1980), hal. 140
24 Anton Bakker, Metode-metode
Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 138
25 Ibid, hal. 17
26 Winarno surakhmad, Pengantar
Penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, ( Banndung:Tarsito, 1980), hal. 147
dan menjabarkan pendapat-pendapat ulama sebagai bahan analisis.
Diharapkan
dapat diketahui unsur-unsur kesamaan dan perbedaan serta dengan mengqiyaskan
hukum yang ada, guna mengambil kesimpulan yang relevan dan akurat.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk
mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan skripsi ini menggunakan
sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan: Terdiri dari latar belakang masalah yang akan dijawab,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang merupakan arah penelitian
yang dilakukan, tinjauan pustaka sebagai pembanding dan pembeda dengan
penelitian sebelumnya, landasan teori sebagai gambaran alur yang melandasi
penulisan, dan paparan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini.
Bab II Merupakan deskripsi umum
tentang fatwa MUI. :
Pertama, metode
istinbat hukum MUI dalam menetapkan fatwa. Kedua, faktor-faktor yang
melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang haram merokok. Ketiga, prosedur penetapan
fatwa. Keempat, kedudukan fatwa dalam hukum Islam.
Bab III Merupakan deskripsi umum
tentang rokok.
Pertama,
deskripsi umum tentang tembakau terdiri dari sejarah tembakau, kandungan yang membahayakan
dalam tembakau, dan aspek manfaat dari tembakau. Kedua, rokok dan
permasalahannya terdiri dari sejarah rokok di Indonesia, industry rokok dan
pengaruhnya terhadap perekonomian, dan pengaruh rokok terhadap kesehatan.
Ketiga, rokok dalam pandangan ilmuwan muslim terdiri dari pandangan yang
membolehkan dan pandangan yang mengharamkan.
Bab IV Merupakan bab yang berisi
paparan untuk menjawab rumusan masalah.
Di
dalamnya terdapat paparan tentang aspek metode istinbat hukum, aspek manfaat
dan mudharat merokok, dan aspek pendapat ilmuwan muslim.
Bab V Penutup berisi kesimpulan dari
pembahasan tentang rumusan
masalah yang diajukan dengan
dilengkapi saran sebagai bahan rekomendasi dari
hasil penelitian penulis.
BAB II
DESKRIPSI
UMUM TENTANG FATWA MUI
- Metode Istinbath Hukum MUI dalam Menetapkan Fatwa
Pada awal
perkembangan Islam, fatwa dikeluarkan oleh ahli fikih tanpa status resmi,
sehingga tidak ada ketetapan prosedur yang baku. Tetapi dengan perkembangan
aparat birokratis berbagai Negara di dunia Islam, akhirnya sejumlah mufti
diangkat sebagai pejabat Negara. Hal ini sudah pernah terjadi pada masa
kerajaan Utsmani.27 Di Indonesia, organisasi mufti tersebut dideklarasikan
dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Metode pembuatan fatwa Majelis Ulama
Indonesia pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam himpunan
fatwa MUI 1995 dan 1997. Secara umum, petunjuk prosedur penetapan fatwa MUI
dapat dikemukakan sebagai berikut:28
1.
Dasar-dasar
fatwa adalah:
a.
Al-Qur’an
b. Sunnah
(tradisi dan kebiasaan Nabi)
c. Ijma’
(kesepakatan pendapat para ulama)
d. Qiyas
(penarikan kesimpulan dengan analogi)
2. Pembahasan masalah yang
memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
a. Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
b. Pendapat para imam madzhab mengenai hukum Islam dan pendapat para
ulama terkemuka diperoleh
melalui penelitian terhadap penafsiran al- Qur’an.
3. Pembahasan yang merujuk ke atas
adalah metode untuk menentukan
Penafsiran
mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat Islam.
4. Ketika suatu permasalahan yang
memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus
ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (Ijtihad).
27 Taufik Abdullah, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002), artikel “Pergolakan Pemikiran
Keagamaan”, hal. 125
28 MB. Hooker, Islam, hal. 93
5. Mereka yang mempunyai otoritas
untuk menangani fatwa adalah sebagai berikut:
a. MUI berkaitan dengan:
a) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan
masyarakat Islam Indonesia
secara umum.
b) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang
dianggap dapat diterapkan di wilayah lain.
b. MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang
sifatnya
lokal dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan MUI
pusat
dan komisi fatwa.
6. Sidang Komisi Fatwa harus
dihadiri para Anggota Komisi Fatwa yang telah diangkat
pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan kemungkinan
mengundang para ahli jika dianggap perlu.
7. Sidang Komisi Fatwa
diselenggarakan ketika:
a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
b. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah,
lembagalembaga
sosial, dan masyarakat atau MUI
sendiri.
8. Sesuai dengan aturan Sidang
Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan
Propinsi.
9. Pimpinan pusat MUI
Nasional/Propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu kedalam
bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.
- Faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya fatwa tentang rokok
- Faktor Politik
Sebuah
produk keputusan maupun fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga manapun pasti akan
sangat terikat dengan setting sosio-kultural dan sosio-politik yang berada di
sekitarnya. Faktor ini pulalah yang menyebabkan
sifat dari sebuah fatwa maupun keputusan sebuah lembaga sangat bersifat sosiologis.
Asumsi ini sebenarnya berawal dari latar belakang Majelis Ulama Indonesia sendiri
yang lahir dari dan untuk dari kepentingan politik. Saat awal pembentukannya,
sebagaimana ditulis Atho Mudhzhar, MUI merupakan lembaga bentukan pemerintah
yang diproyeksikan untuk mengendalikan
kaum muslimin melalui
keputusan-keputusan politis yang diligitimasi oleh MUI.29
Fikih adalah pemahaman yang
dirancang oleh cerdik, pandai melalui aktivitas pemikiran atau olah intelektual
bersama sejumlah latar belakang historis dan desakan-desakn sosial, bahkan
tidak jarang berada dalam under attack politik. Artinya fikih tidak
hadir dalam ruang sosial yang kosong. Fikih bukanlah pemikiran murni yang
datang dari kehampaan sejarah, melainkan ia juga merefleksikan selisih-selisih
sosial, budaya dan politik.30
Bisa kita pahami bahwa fatwa MUI itu
tidak lebih merupakan bagian dari upaya meminimalisir bahaya yang mengancam
masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang mengidap penyakit parah yang
disebabkan oleh konsumsi rokok. Hanya yang menjadi persoalan, mengapa harus MUI
yang harus mengeluarkan fatwa haram rokok ? sedangkan pemerintah mempunyai peraturan
tentang rokok (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2003,
Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Presiden Republik Indonesia).
Inilah
barangkali yang menjadi tanda tanya besar pada sebagian masyarakat kita saat
ini. Sejumlah kalangan menduga, bahwa yang dilakukan MUI sesungguhnya sarat
dengan nuansa politis. Hanya saja tidak ada keterangan lebih lanjut tentang
nuansa politis seperti apa yang dimaksud.
Padahal
jika merujuk kepada syariat Islam tidak ada penjelasan yang spesifik
menyinggung masalah rokok, apalagi
sampai pada ketentuan hukum mengharamkannya. Hukum haram tentang merokok justru
terdapat di dalam fiqh, itu pun masih mengandung banyak perdebatan. Ada yang
menyatakan hukumnya haram, makruh, ada yang mubah, bahkan ada pula yang menyatakan
wajib. Ketidakjelasan hukum inilah yang menyebabkan masyarakat bawah
berbeda-beda menanggapi masalah hukum rokok.
29 Atho Mudzhar, Fatwa, hal. 59.
Lihat juga Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Taufik Abdullah (ed, et al),
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), artikel “Pergolakan Pemikiran
Keagamaan, al” VI: 126.
30 Team FKI, Esensi Pemikiran
Mujtahid: Dekonstruksi dan Rekonstruksi Khasanah Islam, (Kediri: Purna siswa
III Aliyah 2003 Ponpes Lirboyo, 2003), hal. Xxvi
2. Faktor Sosial
Sifat
tugas MUI adalah memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program
praktis.
Orang
pertama yang menyarankan diadakannya pembatasan demikian adalah presiden
Soeharto sendiri.
Dalam pidato
pembukaan pada Konferensi Nasional Pertama para ulama pada
tanggal 21 Juli 1975. Presiden
secara khusus menyarankan bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program-program
praktis seperti menyelenggarakan madrasah-madrasah, masjid-masjid atau rumah
sakit. Karena kegiatan semacam itu diperuntukkan bagi organisasi-organisasi
Islam lain yang telah ada. Banyak pertanyaan dari masyarakat terkait dengan
masalah strategis kebangsaan, masalah keagamaan-kontemporer, dan masalah yang
terkait dengan peraturan perundang-undangan. Bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut
mendesak untuk segera dijawab sebagai panduan dan pedoman bagi
si penanya dan masyarakat pada
umumnya.31Dalam Anggaran Dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan
tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun
kepada kaum muslimin mengenai persoalanpersoalan yang berkaitan dengan
keagamaan khususnya dan semua masalah
yang dihadapi bangsa umumnya. MUI
juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku
penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam permusyawaratan
antar golongan agama. Menurut kata-kata ketua umum MUI ketiga, Hasan Basri, MUI
bertugas “Selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang
bertentangan dengan ajaran Islam”.32
C. Prosedur Penetapan Fatwa
Fatwa
merupakan jawaban yang diberikan oleh juru fatwa (mufti) kepada orang
yang pertanyaan akan status hukum. Fatwa mengharuskan adanya 31 Ijma’ Ulama,
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Tahun 2009, hal. 1
32 K.H. Basri, Wawancara, (Jakarta:
01 Agustus 1988), Tugas “Penjagaan” ini mengingatkan kita pada majelis
penasihat Tentang Ideologi Islam yang diberikan oleh presiden Ayub Khan dari
Pakistan, yang dimuat dalam konstitusi Pakistan tahun 1962.
proses istifta (pengajuan
permohonan atas fatwa) oleh pemohon (mustafti) secara personal maupun
badan hukum kepada mufti.
Dalam
pandangan Guru Besar FIAI UII, Amir Mu’allim (Himmah, Juni, 2008), fatwa itu
sama saja dengan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu suatu perbuatan untuk
mengajak kepada kebaikan dan memerangi keburukan.
Perbedaannya terletak pada sifatnya
yang khusus. Fatwa secara umum memberikan pandangan hukum yang nantinya akan
diakomodasi oleh publik.
Bila qadhi
merupakan kepanjangan tangan negara untuk mengurus yudikatif, maka mufti
menurut Amir lazimnya adalah seorang intelektual (ulama) independen, tidak
berafiliasi dengan kekuatan manapun, termasuk negara. Fatwa bisa berkembang
seiring perkembangan masa, perubahan letak geografis, peralihan kondisi, dan
pergeseran niat. Fatwa mengandaikan adanya perkembangan baru, persoalan baru
atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan hukumnya, atau belum
jelas duduk masalahnya.
Menurut Amir, sebuah produk fatwa
juga harus melihat dan memperhitungkan faktor masyarakat umum. Kondisi sebuah
obyek fatwa harus benar-benar bisa dipahami dan diteliti terlebih dahulu. “Jadi
fatwa itu betul-betul yang menjadikan kepercayaan publik dan sesuai dengan
kebutuhan publik.
Fatwa
juga harus berorientasi pada kearifan dalam memberikan informasi yang
bersifat hukum”.33 MUI mengeluarkan
fatwa-fatwa untuk mengumumkan pendirian
akhirnya mengenai
persoalan-persoalan tertentu.34 Jika sifat dan cara pembuatannya adalah menurut
garis-garis agama, peranan yang dilakukan fatwafatwa itu bersifat sekuler,
fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk mempersatukan pendapat kaum muslimin dan
memberikan nasihat kepada pemerintah tentang peraturan hukum agama untuk
dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan tertentu.
Penyusunan
dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh Komisi
Fatwa
MUI. Komisi itu diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan
33 Drs. Rohidin, Studi Tentang
Paradigma MUI Dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat Terhadap Aliran Keagamaan dan
Kaitannya dengan Prinsip-Prinsip HAM, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 2009),
hal. 70
34 Atho mudzhar, Op. cit. hal. 79 fatwa
mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang dihadapi masyarakat.
Pada
waktu pembentukannya pada tahun 1975, komisi itu mempunyai tujuh
orang anggota, tetapi jumlah itu
dapat berubah karena kematian atau penggantian anggota, setiap lima tahun
sekali komisi itu diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua Komisi Fatwa
secara otomatis bertindak selaku salah seorang wakil ketua MUI.
Persidangan-persidangan Komisi Fatwa
diadakan menurut keperluan atau bila MUI telah diminta pendapatnya oleh umum
atau oleh pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam.
Persidangan semacam itu biasanya di samping ketua dan para anggota komisi, juga
dihadiri oleh para undangan dari luar, terdiri dari para ulama bebas dan para
ilmuwan sekuler, yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan.35 Untuk mengeluarkan
satu fatwa biasanya diperlukan hanya sekali sidang, tetapi adakalanya satu
fatwa memerlukan hingga enam kali sidang, sebaliknya dalam
sekali persidangan adapula yang
dapat menghasilkan beberapa fatwa seperti dalam masalah vasektomi, tubektomi,
dan sumbangan kornea mata. Fatwa-fatwa itu sendiri adalah berupa
pernyataan-pernyataan, diumumkan baik oleh Komisi
Fatwa sendiri atau oleh MUI.
Pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah
buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang
menerangkan bahwa dasardasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan
tingkatannya adalah:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Harus disusuli dengan penelitian
pendapat para imam madzhab yang ada dan
fuqaha yang telah melakukan
penelaahan mendalam tentang masalah serupa.36
35 Basalamah, Perkembangan, hal. 205 36 M. Atho
Mudzhar, Fatwa-fatwa MUI, hal. 87
Meski demikian, fatwa sebagaimana
ijtihad juga memiliki aturan main yang harus ditaati. Ada beberapa pedoman dalam
berfatwa yang disesuaikan dengan tuntunan nash. Beberapa larangan bagi pemberi fatwa (mufti)
dalam pedoman tersebut antara lain dijelaskan oleh Musfir bin Ali
al-Qahtany dalam sebuah bukunya “Dlawabit al-Fataya fi al-Nawazil al-Mu’ashiroh”
sebagai berikut:
a. Fanatik terhadap salah satu
madzhab, atau pendapat ulama-ulama tertentu.
Pedoman ini sebagaimana juga
dikatakan oleh Imam Ahmad, melarang
seorang pemberi fatwa untuk
memaksakan madzhab yang dianutnya pada
orang lain, padahal hal itu justru
memberatkan bagi orang tersebut.
b. Berpegang hanya pada arti
eksplisit nash saja. Larangan ini mengindikasikan pentingnya
pemahaman seorang mufti terhadap makna di balik nash yang menjadi tujuan
syara (maqashid syari’ah). Begitu juga orang yang hanya mengandalkan
Hadis saja untuk menjawab persoalan yang ada tanpa mempelajari fikih dan
ushul fiqh serta perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama. Orang
yang demikian, menurut al-Ghazali termasuk golongan neo-Dhahiriyyah.
c. Tidak menggunakan konsep syaddu
al-zari’ah dan terlalu berhati-hati dalam menyikapai perbedaan
ulama. Menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip Qardawi, melakukan suatu
keharaman yang dilarang Allah pasti melalui perantara (wasilah). Bila
tidak menutup perantara tersebut dengan konsep syaddu al-dzari’ah, berarti mengurangi ketetapan haram dari Allah.
Sementara
perbedaan yang terjadi antara para ulama tidak harus disikapi berlebihan
dengan meninggalkan semuanya, namun bisa difatwakan yang paling unggul
(rojih) di antara mereka.
d. Berlebihan dalam menggunakan
maslahat dan memaksakan penggunaanya meskipun bertentangan dengan nash. Hanya Najmuddin
al-Thufi yang meletakkan maslahat sebagai dalil independen yang boleh bertentangan
dan harus didahulukan dari pada nash.
e. Terlalu sering menggunakan rukshsoh
dan talfiq antar madzhab.
f. Melakukan hilah dalam
perkara-perkara syar’i.
Demikian juga yang dilakukan Yusuf
Qardawi dalam salah satu karya
monumentalnya, “Fatwa-Fatwa
Kontemporer”. Ia menyebutkan bahwa dalam
fatwa yang ia tulis dan merupakan
jawaban atas berbagai persoalan hukum,
terdapat beberapa pedoman yang
menjadi pegangan. Secara global dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Tidak fanatik dan tidak taqlid.
b. Mempermudah dan tidak
mempersulit.
c. Menjelaskan kepada manusia sesuai
dengan bahasa zamannya.
d. Berpaling dari sesuatu yang tidak
bermanfaat.
e. Bersikap seimbang antara
memperlonggar dan memperketat.
f. Memberikan hak fatwa berupa keterangan
dan penjelasan.37 Selain itu, faktor kepentingan pihak manapun, termasuk pribadi pemberi fatwa
harus dihilangkan dari lahirnya sebuah fatwa. Untuk meminimalisasi adanya
kepentingan di balik penetapan fatwa, para ulama menetapkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi mufti. Imam Ahmad misalnya, sebagaimana dikutip oleh
Ali Hasballah menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh mengeluarkan
fatwa sebelum ia memenuhi lima syarat:
a. Ia harus memiliki niat
benar-benar karena Allah Swt.
b. Ia harus memiliki kapabilitas,
dan bersikap baik.
c. Ia harus benar-benar ahli dalam
bidang yang ia tekuni, sehingga ia tidak
mudah berpaling dari kebenaran.
d. Ia harus orang yang mampu
mencukupi diri dan keluarganya, agar terlepas
dari pengaruh orang luar.
e. Mengetahui kondisi sosiologis dan
antropologis masyarakat yang diberi
D. Kedudukan Fatwa dalam Hukum
Islam
Berbicara
tentang urgensi fatwa keagamaan dalam kehidupan umat Islam berarti kita tidak
terlepas dari samapai seberapa jauh kemanfaatan fatwa 37 Yusuf Qardawi, fatwa-fatwa
kontemporer, cet. VII, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 21 38 Ali
Hasballah, Ushul, hal. 89 dalam kehidupan ummat manusia. Ajaran Islam yang berupa Al-Qur’an
dan Al-Hadits pada dasarnya masih banyak yang bersifat global, sehingga adanya perincian
secara analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
Al-Qur’an dan Al-Hadits Rasulullah Saw masih perlu ada penjabaran secara
mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, sepanjang
masalah itu masih bersifat dzanny.39
Fatwa
adalah kata yang sering disalah pahami. Ada yang menyangka,
fatwa adalah sejenis dogma yang
memiliki daya ikat kuat seperti halnya al-
Qur’an. Atau seperti konstitusi
Negara sehingga bagi yang melanggarnya dapat
dikenakan sanksi hukum. Tentu
sangkaan ini keliru sepenuhnya. Sebab, fatwa
pada hakekatnya tidak lebih dari
sebuah petuah, nasihat, atau jawaban pertanyaan hukum dari individu ulama atau
institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Fatwa
seorang mufti tidak mengikat siapapun, karena betapapun kesungguhannya untuk
bersikap obyektif, ia tidak dapat lepas dari unsur subyektivitas berupa
kecenderungan pribadi dan kemampuan daya nalarnya. Pendeknya, fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat).
Kebenaran
fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk
diubah seiring perubahan ruang,
waktu, dan tradisi. Ibnul Qayyim al-Jauziyah
dalam magnum opusnya “I’lam
al-Muwaqqi’in” menyatakan tentang adanya
peluang untuk selalu mereformasi dan
memperbaiki fatwa dalam satu bahasan;
fashl:fiy taghayyur al-fatwa wa
ikhtilafiha bihasabi taghayyur al-azminah wa alamkinah wa al-ahwal wa
al-niyyat wa al-awaid. Jadi, mengubah teks fatwa
bukanlah perkara tabu.
Menurut
Ahmad bin Hanbal, jika sebuah fatwa diduga keras akan menimbulkan keburukan,
maka semestinya mufti dapat menahan diri dan tidak
mengedarkan fatwa tersebut. Fatwa
perlu ditinjau kembali, waktu demi waktu,
untuk dilihat apakah ia memberi efek
maslahat terhadap umat atau justru menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat. Suatu
fatwa tidak bisa dijadikan
sebagai sumber ketetapan hukum.
Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang
39 Drs. H. Rohadi Abd. Fatah,
Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hal. 34 bisa diikuti dan bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil
fatwa tidak ubahnya seperti produk hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki
nilai kebenaran mutlak dan nilai kekuatan untuk mengikat.
Fungsi MUI adalah:
1. Sebagai wadah musyawarah para
ulama, zuama dan cendikiawan muslim
dalam mengayomi umat dan
mengembangkan kehidupan yang Islami,
Demokratis, akomodatif, dan
Aspiratif.
2. Sebagai wadah silaturrahmi para
ulama, zuama dan cendikiwan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran
Islam dan menggalang ukhuwah
Islamiyah.
3. Sebagai wadah yang mewakili umat
Islam dalam hubungan dan konsultasi
antar umat beragama.
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat
Islam dan Pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta.40
Karena MUI tidak dibolehkan
melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis
diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada
pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persolan yang
berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya. Dalam
bahasa Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, MUI bertugas “Selaku penjaga agar
jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran
Islam”.41 Syaikh Mahmoud Syaltout, mantan rektor Universitas 40 MUI, Wawasan
dan PD/PRT MUI. 2000 41 K. H. Hasan Basri, wawancara dengan Muhammad Atho Mudzhar,
(Jakarta: 1 Agustus 1988).
Tugas “penjagaan” ini mengingatkan
kita pada Majelis Penasihat Tentang Ideologi Islam yang didirikan oleh Presiden
Ayub Khan dari Pakistan, yang dimuat dalam Konstitusi Pakistan tahun 1962.
Bagian ke-10 konstitusi tersebut
menyebutkan bahwa tugas-tugas Majelis Penasihat Ideologi Islam adalah:
1. Memberikan rekomendasi kepada
pemerintah mengenai peraturan-peraturan yang memungkinkan kaum
muslimin memperbaiki cara hidupnya menurut ajaran Islam.
2. Memberikan nasihat kepada
pemerintah apakah rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam. Salah satu di antara
perbedaan besar antara MUI dan Majelis Penasihat Pakistan adalah, meskipun yang
disebut pertama dibantu pemerintah, tetapi tetap bersifat swasta, sedangkan
yang kedua merupakan bagian
dari aparat pemerintah. Sampai
seberapa jauh perbedaan kedudukan itu mempengaruhi timbulnya perbedaan
dalam kebebasan gerakan kedua badan tersebut, merupakan bahan studi sendiri.
al-Azhar juga memandang penting
adanya lembaga fatwa yang dapat menjadi
tempat bertanya masyarakat dalam
masalah agama, demi menjaga kepentingan
umat.42 42 ibid
BAB III
DESKRIPSI
UMUM TENTANG ROKOK
A. Deskripsi Umum Tentang
Tembakau
1. Sejarah Tembakau
Awal mula perkenalan dunia pada
tembakau dan kebiasaan merokok tak bisa dilepaskan dari peristiwa penemuan benua
Amerika oleh para pelaut Spanyol di bawah pimpinan Christophorus (Christoper) Columbus (1451- 1506) pada
tahun 1942. Setelah melakukan serangkain pendaratan di berbagai pulau di benua
itu, pada 2 November tahun 1942 rombongan Columbus mendarat di pulau
Waitling, dan mereka melihat sebuah perahu lesung orang Indian yang berisi
muatan, diantaranya daun-daun kering yang kelak dikenal sebagai tembakau.
Nama “tembakau” diberikan kepada
tanaman beracun ini oleh karena tembakau sering diisap dengan pipa bercabang yang
berbentuk “Y” waktu mengisapya dua dari cabang pipa ini dimasukkan ke dalam tiap lobang hidung. Ini
membuat pengisap tembakau itu merasa kurang enak, tetapi tetap mengisapnya
juga karena dilakukan dalam suatu upacara tertentu.43 Di lain tempat dua orang
utusan yang dikirimkan Columbus ke pantai Cuba, mereka bertemu
banyak orang lelaki yang membawa kayu bakar dan bungkusan-bungkusan
berisi daun pengobatan yang telah dikeringkan. Orangorang itu mengisap
gulungan daun kering itu sambil menjelaskan jika asap dari daun kering yang
mereka hisap itu bisa mendatangkan kenikmatan pada tubuh mereka, menciptakan
rasa nyaman dan mengurangi kelelahan. Rasa penat hilang dan muncul
rasa santai. Gulungan daun kering itu mereka sebut tobacco dan orang Indian karibia menyebutnya Tobago.
Perlu waktu sebulan bagi para pelaut
Spanyol itu untuk memahami manfaat daun tembakau. Mereka baru tahu bahwa
warga Indian setempat menggulung dedaunan kering menjadi seperti senapan kuno (musket),
yang 43 DR. RA. Nainggolan, Anda Mau Berhenti Merokok Pasti Berhasil,
(Bandung: Indonesian Publishing House, 1990), hal. 11 dibakar di salah satu
ujungnya dan diisap di ujung yang lain. Itulah daun tembakau yang mereka
jadikan rokok atau cerutu yang kita kenal sekarang ini. Tiap suku Indian
pada waktu itu memakai cara-cara tersendiri dalam
menikmati tembakau. Ada yang
dikunyah, ada yang dicium-tembakau cium
ini dikenal dengan nama niopo atau
iopo, ada pula dengan dijilat. Tembakau
juga dipakai dalam upacara ritual,
bahkan pengobatan.
Kedatangan
orang Eropa, ke “Dunia baru” 50 an tahun lalu itu menjadi awal perkenalan
dunia luar Amerika kepada tembakau hingga banyak pendatang Eropa
yang pergi ke sana. Dari Jamestown, seorang pendatang dari Inggris
Jhon Rolfe mengirim daun tembakau Virginia partama kali pada tahun 1613 ke
Eropa. Satu tahun kemudian, tembakau jenis nicotiana tabacum dan nicotiana rustica dua spesies yang dibudidayakan orang Indian
Amerika dikenal di seluruh dunia.
Rolfe menikahi putri Indian
terkenal, Pocahontas, yang merupakan anak perempuan Powhatan, kaisar merah dari
Virginia. Rolfe mengetahui pembudidayaan tembakau dari putri kaisar Indian itu
dan mereka berdua
berhasil menanam tembakau dalam
jumlah besar di Varina, dekat Richmond
belakangan menjadi tempat kelahiran
rokok modern. Akibatnya, pertanian
tembakau berkembang dan menjadi
buruan utama orang Inggris di Amerika,
dan Pocahontas menjadi pasangan
terpandang di koloni itu. Sayangnya,
dalam kunjungan ke Inggris pada
tahun 1617, sang putri meninggal. Rolfe
memutuskan kembali ke Varina, tapi
pada tahun 1662 ia dibunuh oleh anggota keluarganya sendiri. Usahanya dilanjutkan
oleh putranya, Thomas.44 Diperkirakan, dunia mengenal 20 spesies tembakau. Dari 20 spesies tersebut, tiga
di antaranya varieta utama: Nicotiana tabacum (Virginia), Nicotiana
Macrophylla (Maryland), dan Nicotiana rustica (Boeren),
yang semuanya berasal dari Amerika.
Tembakau telah
menciptakan keberuntungan kepada benua Amerika
selama beberapa generasi. Dalam hal
ini, terutama koloni kecil (Inggris) 44 http://www.detiknews.com/r.diakses pada 18 Juni
2009 Virginia, yang diambil dari nama depan Ratu Elizabeth. Nama tembakau Virginia
inilah yang paling terkenal di seluruh dunia.
Tembakau
Virginia ditanam di seluruh dunia, namun dalam kenyataannya, ada lima
wilayah penanaman: Pertama, Asia yang menghasilkan sekitar 53% panen dunia. Lalu Amerika
Selatan 21%, Amerika Utara 11%, Eropa 8% dan Afrika 7%.45 Banyak orang menyebut
Amerika sebagai “tanah air tembakau”,
sementara William Barclay, seorang
penulis Inggris, dalam bukunya
Nephentes, or The Vertues of
Tobacco (1604) menyebut Amerika sebagai
negeri dimana Tuhan telah memberikan
karunia dan memberkatinya dengan
daun pengobat yang membahagiakan dan
suci ini.
Penyebaran Tembakau ke Seluruh Dunia
a. Eropa
Dengan mencontoh penduduk pribumi,
pada dekade pertama pada abad ke-16, sejumlah pelaut Spanyol dan Portugis bersama menanam tembakau di
Hindia Barat dan Brasil. Di akhir abad itu, tumbuhan yang menimbulkan
kontroversi ini diperkenalkan di Inggris oleh Sir Jhon Hawkins, pahlawan bahari
imperium Inggris, sepulangnya dalam lawatan kedua ke Amerika Serikat,
pada 20 September tahun 1565. Sedang penyebaran terjadi sejak tahun 1573, saat Sir
Francis Drake membawa pulang tembakau dari Virginia, koloni Inggris di Amerika. Sejak
itulah kaum bangsawan Inggris mulai mengenal budaya konsumsi tembakau.
Pada
tahun 1854, Ratu Elizabeth memberi hak atas Virginia kepada Sir Walter
Raleigh. Melalui orang inilah, tembakau dan kebiasaan merokok dengan pipa
diperkenalkan secara luas. Ratu sendiri malah punya tongkat berupa pipa
rokok. (Bahkan Winston Churcill, Perdana menteri Inggris tahun 1940-1945
dan tahun 1951-1955, terkenal karena cangklongnya).46
45
http://www.tempointeraktif.com.diakses pada 18 Juni 2009 46 Suryo
Sukendro, Filosofi Rokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007), hal.34
Perancis
mengenal tembakau lewat Andre Thevet dan Jean Nicot.
Semenjak tahun 1560, penanaman
tembakau sudah mulai berkembang di
Perancis. Pada tahun 1573, Nicot
dengan beberapa orang sarjana menerbitkan kitab logat bahasa Perancis-Latin,
yang pada halaman 478 dijumpai istilah Nicotiane untuk menyebut jenis tanaman obat
(tembakau) yang dimaksud. Dari sinilah istilah “Nicotiane” kemudian
dipakai untuk menyebut tanaman tembakau obat itu.
Tembakau di Portugis mulai tumbuh
pada tahun 1558. Di Spanyol tanaman tembakau pertama kali masuk sebagai
tanaman hias dan kemudian sebagai tanaman obat. Jenis tembakau yang berkembang di
sana saat itu adalah jenis Nicotiana tabacum. Tembakau masuk
Italia pada tahun 1561, dibawa oleh seorang pendeta bernama Prospero Santa Croce dari Lisabaon,
Portugis, sewaktu jadi duta Sri Paus. Pendeta kedua yang membawanya
adalah Nicolo Tornabuoni, yang juga duta Sri Paus.
Praktek merokok di Belanda
berkembang di kalangan mahasiswa Universitas Leiden. Tembakau di Jerman ditanam
pada abad XVI di daerah sekitar Nurnberg, Saxonia, Thuringen, dan Hessen. Di Rusia, sekitar tahun
1690-an tembakau telah digunakan secara berlebihan tak ubahnya brendi dan sering
menjadi pemicu pertengkaran. Abad XVIII orang Rusia mengenal cara
baru menikmati tembakau dengan menggunakan pipa air, yang sebelumnya telah
popular di kalangan orang
Turki.47
b. Asia
Tembakau di Jepang diperdagangkan
oleh orang-orang Portugis menjelang akhir abad XVI. Perkebunan tembakau yang pertama adalah di
Nagasaki
pada tahun 1605 dan meluas pada akhir abad XVII. Tembakau di
Tiongkok dikenal lewat orang-orang
Filipina, mula-mula murni dipakaiuntuk obat.
47 Ibid, hal. 35
Tembakau masuk India lewat
orang-orang Portugis sekitar tahun 1605. Pada tahun 1610 tembakau telah tumbuh di
Sailan dan tahun berikutnya kebiasaan merokok telah dikenal luas di India.
Dalam Budiman (1978 : 71) jika istilah Cerutu diyakini berasal dari sebuah
kata dalam bahasa Tamil shuruttu atau churuttu dalam bahasa Malayalam,
yang kedua-duanya berarti gulungan tembakau. Dari perkataan
inilah timbul perkataan Portugis charuto dan perkataan cerutu dalam bahasa
kita (baca: Indonesia-red).
c. Awal Tembakau di Indonesia
Jauh
sebelum orang Indonesia mengenal tembakau, mereka lebih dulu
mengenal budaya mengunyah buah
pinang dan sirih serta mencampurnya dengan kapur yang terbuat dari kulit tiram,
sebagai sebuah kebiasaan untuk mendapatkan kenikmatan. Namun hingga zaman Majapahit, kebiasaan
makan sirih belum mengenal gambir. Budiman (1987) menyebut jika gambir baru
masuk Indonesia pada awal abad XVI dan merupakan barang impor. Pemakaian tembakau baru
muncul belakangan, setelah dimasukkan oleh orang Portugis ke tanah air kita pada awal
abad XVII. Tembakau khusus untuk makan sirih ini dikenal dengan nama
tembakau sugi. Masyarakat Jawa menyebutnya bako susur.48
Tembakau barulah dikenal belakangan,
menurut Thomas Stamford
Raffles dalam bukunya The History
of Java, jilid I (1817), orang
Belandalah yang memperkenalkan
tembakau sekaligus kebiasaan merokok
pada orang Indonesia dan itu terjadi
pada tahun 1601. Namun menurut De
Candolle, yang dikutip dalam Van Der
Reijen dalam bukunya Rapport
betreffende Eene Gehouden Enquete
Naar De Arbeids Toestanden In De
Industrie Van Strootjes En
Inheemsche Sigaretten Op Java, jilid I (1934),
tanaman tembakau telah dibawa ke
pulau Jawa sekitar tahun 1600, hanya
saja, menurutnya dibawa oleh orang
Portugis.
48 Ibid, hal. 37
Dalam naskah Jawa Babad Ing
Sangkala, tembakau dikatakan masuk Jawa bersamaan dengan mangkatnya pendiri
kerajaan Mataram, Panembahan Senapati Ing Ngalaya-ayah Sultan Agung-pada tahun Saka 1523 (sekitar
1601-1602 Masehi). Sayangnya, tak tercantum di sana keterangan siapa pembawa
tembakau ke pulau Jawa. Barangkali lebih cenderung untuk menerima
pendapat De Candolle yang meyakini jika orang Portugis sebagai
pembawanya kemari. Alasannya, nama tembako atau bako, yang lazim
dipakai orang Jawa, lebih dekat ke istilah tabaco atau tumbaco
dalam bahasa Portugis, ketimbang kata tabak dalam bahasa Belanda.
Menurut sinolog G. Schlegel dalam
Budiman (1987:80), tanaman
tembakau bukan merupakan tanaman
asli Indonesia. Sebagai bukti, ia
menunjuk pemakaian nama tembakau
atau yang semacam itu, untuk
menyebut tanaman termaksud di
berbagai daerah, yang semuanya berasal
dari perkataan Portugis tabaco atau
tumbaco. Berdasarkan kenyataan ini ia
berpendapat jika orang Portugis
pastilah orang pertama yang memasukkan
tembakau ke Indonesia. Namun,
kebiasaan pemakaian tembakau di daerahdaerah
lain tak banyak diketahui, karena
sumber Belanda sangat sedikit
mengungkapnya, setidaknya sampai
abad ke-17. Sedang di Deli, Sumatera
Timur, tembakau mulai ditanam pada
tahun 1864 oleh orang Belanda
bernama Nienhuys.
Tembakau yang digunakan orang Jawa
untuk merokok pada waktu itu berasal dari Karesidenan Besuki dan dari daerah Kedu-tembakau
Kedu merupakan tembakau terbaik di pualau Jawa pada waktu itu. Orang Belanda juga
memakai tembakau Kedu untuk pipa rokok mereka, selain kebiasaan mengisap rokok
cerutu. Orang Belanda menyebut mengisap pipa dan cerutu dengan
istilah ro’ken. Gericke-Roorda dalam buku kamus bahasa Jawa-Belanda
Javaansch-Nederlandsch Woordenboek jilid I (1901) halaman 332, menyebutkan
jika dari perkataan Belanda ro’ken inilah muncul perkataan rokok
yang dipakai hingga sekarang.49
49 Ibid, hal. 39 Tembakau
diperbanyak dengan menyemai bijinya. Setelah biji
disemai di pesemaian, calon pohon
tembakau dipindahkan ke bedengan ketika berusia 38-45 hari. Musim tanamnya
tergantung sepesiesnya.
Tembakau
Virginia ditanam pada akhir musim hujan, dan dipanen pada
musim hujan pula. Tembakau untuk
cerutu ditanam pada musim kemarau, dan dipanen setelah musim hujan. Tembakau biasanya
tumbuh pada tanah campuran, antara tanah liar dan pasir, dengan kadar humus yang
tinggi dan cukup air. Bila usianya telah mencapai 90-100 hari, sesudah daun terbawahnya
mulai menguning, itulah saatnya panen.50
Di Indonesia, tembakau menjadi tanaman
perkebunan. Secara ekonomi, peranannya cukup besar karena dapat menjadi sumber pendapatan
masyarakat. Jawa timur menjadi penghasil tembakau utama bagi Indonesia, dan
tembakau Deli di Sumatera Timur sebagai jenis yang paling terkenal di dunia.
Daun tembakau yang diekspor adalah yang khusus untuk bahan
cerutu.
2. Kandungan yang Membahayakan
dalam Tembakau
Daun tembakau yang batangnya dapat
mencapai dua meter,
mengandung alkaloid beracun:
nikotin, nikotinin, nikotein, dan nikotelin.
Gejala keracunannya berupa diare,
muntah-muntah, kejang-kejang, dan sesak
nafas. Akibat sampingan mengisap
asapnya, yakni merokok, berupa batuk
kering, asma dan sukar tidur.51
3. Aspek Manfaat dari Tembakau
Untuk bertahun-tahun lamanya
penggunaan tembakau adalah
merupakan masalah kontroversial.
Orang-orang Indian di Amerika Serikat
percaya bahwa tembakau itu dapat
digunakan sebagai obat. Oleh karena itulah, pendatang-pendatang ke Amerika Serikat itu
membawa tembakau itu kembali ke Eropa. Bahkan pada abad pertengahan ke 17, seorang dokter
di London menulis sebuah buku yang berjudul Panacea; or the
Universal 50 Ibid, hal. 27
51 Ibid, hal. 28 Medicine,
Being a Discovery of the Wonderful Virtues of Tobacco; Taken a Pipe with is
operation and use both in Physical and Chyrurgery.
Dokter
ini berpendapat bahwa tembakau itu mempunyai khasiat untuk
menyembuhkan tubuh dan untuk
pembedahan. Khasiat-khasiat yang terdapat
dalam tembakau menurut dokter ini
antara lain, ialah: setetes getah tembakau
dimasukkan ketiap-tiap telinga dapat
menyembuhkan ketulian. Untuk
menyembuhkan sakit kepala, daunnya
ditempelkan diatas dahi atau kepala.
Untuk membuat wajah berseri-seri
kemerahan, digunakanlah getah daun tembakau itu. Untuk yang sakit gigi, diletakkan
daun tembakau itu pada bagian yang sakit. Serta untuk mengobati batuk, daun tembakau itu
direbus dan airnya diminum. Bahkan, sebelumnyapun dokter-dokter di Eropa menyatakan
bahwa tembakau itu bukan untuk diisap, tetapi hanya dgunakan untuk tujuan
pengobatan.52
Daun
tembakau dipercayai dapat berkhasiat sebagai obat tradisional.
Air tembakau, misalnya dapat dipakai
membersihkan luka yang kotor dan
borok yang membusuk dan berulat.
Getah daunnya bisa dipakai untuk membersihkan kotoran pada luka bernanah-atau
sebagai racun yang dioleskan
pada senjata tajam. Daun tembakau
dapat pula digunakan sebagai tapal pada
bisul, atau mengobati orang yang
perutnya mulas. Rebusan daun keringnya
berkhasiat sebagai obat cacing.
Sebuah hasil penelitian paling baru
dari Arief Budi Witarto Mengseorang
peneliti dari pusat penelitian
bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan bahwa ternyata tembakau
dapat pula menghasilkan protein anti-kanker yang berguna bagi penderita
kanker.
Proposal penelitian soal inilah yang
membawa Doktor Bioteknologi dari Fakultas Teknik, Tokyo University Of
Agriculture And Technology, Jepang itu meraih penghargaan dari badan Jerman
DAAD dan Fraunhofer di Jakarta, tanaman tembakau ini tidak diambil daun tembakaunya untuk memproduksi
rokok tetapi dimanfaatkan sebagai reaktor penghasil protein GCSF. Suatu
hormone yang menstimulasi produksi darah.
52 R.A. Nainggolan, Anda Mau
Berhenti Merokok ? Pasti Berhasil, (Bandung: Indonesia
Publishing House, 1990), hal. 14
Selain untuk protein antikanker,
GSCF, ujarnya bisa juga untuk menstimulasi perbanyakan sel tunas (stemcell)
yang bisa dikembangkan untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak.53
Tembakau di Tiongkok dikenal lewat
orang-orang Filipina. Mulamula
murni dipakai sebagai obat. Biasanya
tembakau digunakan untuk
menyembuhkan penyakit malaria, dan
rebusan daun tembakaunya bisa
dipakai untuk membinasakan
serangga-serangga dan penyakit kulit yang
bersifat parasit. Olahan daun
tembakaunya bisa untuk menghentikan luka
pendarahan.
Pada tahun 1573, dengan bekerjasama
dengan beberapa orang sarjana,
Nicot berhasil menerbitkan sebuah
kitab logat bahasa Perancis-Latin, yang
sebuah copynya masih tersimpan di
perpustakaan Newberry di Chicago. Pada
halaman 478 dari buku bausastra ini
kita jumpai perkataan Nicotiane dengan
batasan sebagai berikut: “ini adalah
suatu tanaman pengobat dengan sifat
baiknya yang menakjubkan melawan
segala macam luka-luka, borok,
penyakit kulit yang sering
menyebabkan luka dibagian muka atau penyakit
borok di bagian muka lainnya,
penyakit-penyakit yang disebabkan kuman
virus dan penyakit-penyakit lain
semacam ini”.
B. Rokok dan Permasalahannya
1. Sejarah Rokok di Indonesia
Industri tembakau di Indonesia
dimulai bersamaan dengan
berkuasanya kolonial Belanda di
negeri ini. Dimulai dengan penanaman
pertama pada tahun 1609, pada tahun
1650 tembakau dijumpai di banyak
daerah di Nusantara. VOC melakukan
penanaman tembakau secara besarbesaran
di daerah Kedu, Bagelen, Malang, dan
Priangan. Dari abad ke-17
hingga-19, penanaman tembakau
mencapai daerah Deli, Padang, Palembang,
Cirebon, Tegal, Kedu, Bagelen,
Banyumas, Semarang, Rembang, Kediri,
53 http://www.antara.co.id.diakses
20 Juni 2009
Besuki, Lumajang, Malang, Surabaya,
Pasuruan, bahkan juga di Kalimantan,
Sulawesi, Ambon dan Irian.54
Kisah kretek bermula dari kota
Kudus. Menurut Amen Budiman &
Onghokham dalam buku Keretek:
Lintasan sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara
(1987), pembuatan rokok keretek di
Indonesia dimulai oleh seorang
bernama Haji Jamahri. Awal mulanya,
penduduk asli kota Kudus, pantai
utara Jawa, itu telah lama mengidap rasa
nyeri di dadanya. Untuk mengurangi
rasa sakit di dadanya itu, ia
mengusapkan dada dan pinggangnya
dengan minyak cengkeh, bahkan memamah-
mamah cengkeh. Hasilnya, rasa
sakitnya kemudian banyak
berkurang.
Lantas timbul gagasan dari Haji
Jamahri untuk memakai rempahrempah
itu sebagai obat dengan cara
berbeda. Ia lalu merajang cengkeh
sampai halus, kemudian mencampurnya
dengan tembakau, dan dibungkus
dengan daun jagung, dan kemudian
dibakar ujungnya. Dengan cara
menghirup asapnya sampai masuk ke
paru-paru, ia merasa sakit di dadanya
berangsur-angsur sembuh. Ia
memberitahukan perihal penemuan ini kepada
orang-orang dekatnya. Akhirnya
berita ini cepat sekali tersiar dan menyebar
luas hingga permintaan rokok obat
temuannya ini pun berdatangan. Tak lama
kemudian akhirnya Haji Jamhri
membuat industri rokok temuannya itu dalam
skala kecil.55
Awal mulanya, penduduk Kudus
menyebut rokok temuan Haji
Jamahri ini rokok cengkeh. Akan
tetapi, oleh karena jika dihisap rokok ini
menimbulkan bunyi keretek-keretek
seperti bunyi daun dibakar sebagai
akibat pemakaian rajangan cengkeh
untuk campuran tembakau isinya, jenis
rokok ini akhirnya disebut orang
rokok keretek. Awalnya, keretek ini
dibungkus kelobot atau daun jagung
kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat
terdiri dar 10 batang, tanpa
selubung kemasan sama sekali. Haji Jamahri
meninggal dunia di Kudus pada tahun
1890 dan dengan demikian lahirnya
54 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok,
(Yogyakarta: Pinus, 2007), hal. 43
55 Ibid, hal. 44
industri keretek di Kudus (juga
pertama kalinya di indonesia) telah terjadi
antara tahun 1870 sampai tahun 1880.
Pada tahun-tahun pertama,
perdagangan rokok keretek hanya terbatas
di Kudus dan daerah sekitarnya.
Namun dalam waktu singkat pemasarannya
meluas hingga merambah berbagai
daerah di pulau jawa. Pada awal mulanya,
seluruh perusahaan rokok keretek
yang ada di Kudus dikelola oleh para
pribumi, namun kemudian dilakukan
pula oleh para pengusaha etnis
Tionghoa. Karena terjadi persaingan
tidak sehat antara pengusaha pribumi
dan tionghoa, akhirnya meletuslah
kerusuhan hebat di Kudus pada 31
Oktober 1918 yang mengakibatkan
banyak jatuh korban dan terbakarnya
beberapa rumah dan beberapa pabrik
rokok. Pada tahun-tahun pertama
kelahirannya, industri rokok keretek
di Kudus memakai tenaga pelinting
rokok dari daerah di sekitar kota
Kudus saja. Karena kebutuhan tenaga yang
lebih banyak dan efisiensi waktu dan
biaya, maka digunakan sistem usaha
rumah tangga yang memungkinkan orang
yang dari desa yang jauh dari kota
Kudus bisa ikut proses produksi.
Pada tahun 1928, di Kudus mucul papiersigaretten
(sigaret keretek),
yakni rokok keretek yang dibuat
dengan menggunakan alat pelinting dan
bahan pembungkus dari kertas.
Kemudian tercatat perusahaan rokok jenis
sigaret keretek terkenal di luar
Kudus yaitu perusahaan rokok Mari Kangen di
Sala dan disusul perusahaan rokok
Sampoerna di Surabaya.
Perkembangan Industri Rokok di
Daerah Lain
a. Jawa Barat
Pasaran rokok di Jawa Barat awal
mulanya lebih didominasi oleh
rokok kawung, yaitu rokok yang
pembungkusnya dari daun pohon kawung
yang dikalangan orang Jawa dikenal
dengan nama pohon aren. Industri rokok
kawung muncul pertama kalinya di
Bandung pada tahun 1905 oleh seorang
pengusaha Tionghoa. Selanjutnya
muncul juga di Bogor, Garut, Tasikmalaya,
Purwakarta, Sukabumi, dan Batavia
(Jakarta). Karena banyaknya kegagalan
industri rokok di Jawa Barat yang
menjual produk rokok keretek, seorang
pengusaha rokok di daerah Cilimus,
kabupaten Kuningan, mencoba trik baru
dengan membuat rokok keretek (tembakau
campur cengkeh) namun dengan
pembungkus daun kawung.56
Rokok jenis kawung meredup ketika
rokok keretek Kudus menyusup
melalui Majalengka pada tahun
1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok
kawung di Ciledug Wetan.
b. Jawa Tengah
Perkembangan industri rokok
selanjutnya mulai merambah di daerah
lainnya, seperti Pati dan
karesidenan Rembang. Pada tahun 1933, untuk
pertama kalinya terjadi pemungutan
cukai tembakau yang memicu
tumbuhnya beberapa perusahaan rokok
kecil di karesidenan Jepara dan
Rembang. Pada tahun 1927 mucul
industri rokok di kota Semarang, juga di
Demak. Pada tahun 1930 muncul di
karasidenan Pekalongan.
Di karesidenan Banyumas, rokok
klembak merupakan jenis rokok
favorit dan industrinya mucul pada
tahun 1925 di Gombong. Di daerah
Temanggung muncul pula jenis rokok
yang lebih tua usianya dari rokok
kelembak dan dinamai rokok Kedu yang
isinya terdiri dari tembakau Kedu,
tanpa menggunakan campuran apapun.
Pada tahun 1890, seorang mantra
Keraton Solo bernama Mas Ngabehi
Irodiko membuat rokok dengan
menambahkan bahan campuran ke dalam
tembakau, yang oleh masyarakat
Jawa diberi nama wur atau uwur.
Campuran ini terdiri dari kelembak,
kemenyan, kemuskus, kayu manis,
adas, pulasari, pucuk, cendana, ganti,
tegari, meyosi, waron, kelabat,
dupa, dan lain-lain. Rokok jenis ini kemudian
terkenal dengan nama rokok diko,
sesuai nama penemunya. Industri rokok
jenis ini kemudian muncul di Keraton
Solo dan menyusul pula di Keraton
Yogyakarta.57
c. Jawa Timur
Di Jawa Timur, pusat industri rokok
waktu itu adalah di segi tiga
Blitar, Kediri dan Tulungagung.
Industri rokok di Kediri baru lahir pada
56 Ibid, hal. 53
57 Ibid, hal.51
tahun 1911, di Blitar pada tahun
1909, dan di Tulungagung baru pada tahun
1922. Industri rokok di Jawa Timur
mulai menunjukkan giginya pada tahun
1928 dan tahun 1929. Ini akibat dari
menurunnya mutu rokok keretek buatan
Kudus akibat dari kenaikan harga
cengkeh sehingga pengusaha rokok keretek
di Kudus dengan sengaja mengurangi
mutu dan bahan bakunya.
Di karesidenan Surabaya, pembuatan
rokok dalam kerajinan rumah
tangga telah ada sejak tahun 1900,
dan pada tahun 1910 muncul industri
rokok yang dimulai dari kelas rumah
tangga dengan nama PT. HM
Sampoerna. Namun untuk kelas pabrik
dengan tenaga buruh barulah lama
setelah itu, yaitu pada tahun 1928.
Pada tahun 1914 sudah ada pabrik besar
milik orang tionghoa, namun untuk
pembuatan sigaret keretek. Di daerah
Sidoarjo muncul pada tahun 1924 dan
Mojokerto pada tahun 1927. Tonggak
perkembangan rokok keretek dimulai
ketika pabrik-pabrik besar
menggunakan mesin pelinting.
Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri
pada tahun 1931 yang pertama memakai
mesin pada tahun 1968, mampu
menghasilkan 6000 batang rokok per
menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan
PT. HM Sampoerna tidak mau
ketinggalan, begitu juga dengan PT. Djarum,
Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di
Kudus.58
Industri rokok di karasidenan Malang
mengalami puncak-puncaknya
pada tahun 1933, namun setelahnya
mengalami penurunan tajam dalam
jumlah perusahaan, tapi secara hasil
produksi malah mengalami kenaikan.
2. Industri Rokok dan Pengaruhnya
terhadap Perekonomian
Pemasukan Negara dari industri rokok
dapat berupa pajak dan cukai.
Pada tahun 1989 pemasukan negara
dari cukai rokok sebesar Rp 1,3 triliun.
Pada tahun 1990 cukai rokok
Indonesia Rp 2,6 triliun. Sedangkan tahun 1998
pendapatan meningkat menjadi Rp 6,9
triliun (Mangku Sitepoe, 2000).
58 Ibid, hal. 52
Di tahun 2001 cukai rokok naik 30%
melalui keputusan Menkeu
Nomor 597/KMK.04/2001 tanggal 23
November 2001 yang berlaku mulai 1
Desember 2001 (Jawa Pos, 23 Oktober
2002).59
Bagi pemerintah, industri rokok
keretek merupakan sumber
pendapatan yang sangat penting
artinya. Tak terhitung berapa banyak
sumbangan finansial yang masuk ke
kas Negara dari bisnis yang satu ini.
a. Bidang Ekonomi
1) Lapangan pekerjaan yang besar
Sejarah mencatat pada tahun 1938
saja perusahaan rokok cap Bal Tiga
milik Nitisemito mampu menyerap
10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta
batang rokok per hari. Dalam
Subangun (1993: XXVI) tercatat pada tahun
1991 saja perusahaan rokok di
Indonesia telah mempekerjakan sekitar 148
ribu orang karyawan. Pada tahun 2006
tenaga kerja dari hulu sampai ke hilir
mencapai sekitar 10 juta tenaga
kerja. (Sumber: Suara Surabaya. Net,/7 Juni
2007).
Belum lagi instansi dan perusahaan
(di luar perusahaan rokok) yang
berhubungan dengan kinerja mereka,
seperti jasa angkutan dan distrbusi. Ini
masih pula ditambah dengan orang
yang menggantungkan hidup dari
distribusi rokok langsung ke
konsumen, seperti toko, warung-warung, hingga
para pengecer rokok asongan.60
2) Cukai tembakau sebagai
pemasukan kas Negara
Cukai tembakau dikenal di Indonesia
sejak tahun 1933 dan merupakan
tiang penyangga kas pemerintah
Hindia-Belanda pada waktu itu. Pada era
pasca perang kemerdekaan di mana
keadaan ekonomi sangat buruk hingga
pada tahun 1950 pemerintah Indonesia
mengadakan devaluasi, cukai
tembakau punya andil besar dalam
mempertahankan kelangsungan
perekonomian pemerintah Indonesia.
Dari tahun itu hingga tahun-tahun
59 Umi Istiqomah, S.Sos, Upaya
Menuju Generasi Tanpa Rokok, (Surakarta: Setia Aji, 2003),
hal. 71
60 Suryo Sukendro, Filosofi Rokok,
(Yogyakarta: Pinus, 2007), hal. 60
selanjutnya, pemasukan cukai
tembakau terus beranjak naik, bahkan melesat
terus diikuti bertambahnya jumlah
produksi.
Perlu diketahui, dalam ketentuan
cukai dari Menkeu No
449/KMK.04/2002 disebutkan, tarif
cukai jenis rokok keretek mesin dan
rokok putih adalah 26 sampai 40%
dari harga jual eceran dan tarif cukai
rokok keretek tangan adalah 4-22%.
Itu masih ditambah dengan Pajak
Pertambahan Nilai (Ppn) sebesar 8,4%
berarti pemerintah bisa menerima
48,4% dari hasil penjualan rokok.
Dalam Budiman (1987, hal: 179)
tercatat pada tahun 1951 pemasukan
cukai tembakau sebesar Rp
46.920.000,00. Pada tahun 1962 menjadi Rp
920.050.000,00 yang merupakan 21,70%
dari jumlah pemasukan berbagai
macam pajak dan bea di tanah air.
Dalam Subangun (1993: XXVII) cukai
tembakau mencapai 2,1 triliun rupiah
yang ternyata memiliki proporsi lebih
dari 90% dari total masuk cukai yang
masuk ke kas Negara.61
Informasi terakhir dari Departemen
Keuangan RI, pada tahun 2003,
volume produksi rokok sebesar 192,33
miliar batang dengan penerimaan
cukai Rp 26,30 triliun. Pada tahun
2004, volume produksi rokok naik menjadi
203,87 miliar batang dengan
penerimaan cukai Rp 29,17 triliun. Sedang pada
tahun 2005 menjadi 220 miliar batang
dengan realisasi cukai rokok Rp 32,6
triliun.
Dilansir dari Kompas Cyber Media,
20 November tahun 2006,
penerimaan cukai pada tahun 2007
ditargetkan Rp 42 triliun atau meningkat
dibandingkan pada tahun 2006 yang sebesar
Rp 38,4 triliun. Bisa
dibayangkan berapa banyak bidang
yang bisa didanai pemerintah dari
pemasukan cukai tembakau itu.
3) Devisa ekspor
Dalam Subangun (1993:XVII),
disebutkan jika devisa ekspor yang
disetorkan industri rokok nasional
tahun 1991 mencapai 88,1 juta US$ atau
sekitar 176,1 miliar rupiah (dalam
kurs mata uang dolar pada waktu itu).
61 Ibid, hal. 61
Sedangkan pajak tak langsung yang
disetorkan industri rokok nasional pada
tahun 1989 saja mencapai 1,9 miliar
rupiah. Dari data Depperind, devisa
ekspor yang disetorkan industri
rokok nasional pada tahun 2006 sejumlah 1,9
triliun. Kesemuanya itu adalah angka
yang cukup signifikan bagi biaya
pembangunan Indonesia.
4) Tingkat kesejahteraan petani
Pengusaha perkebunan tembakau juga
memberikan kemungkinan
cukup tinggi bagi peningkatan
kehidupan ekonomi dan kesejahteraan para
petani, sekalipun kesemuanya itu
masih tergantung pada perkembangan harga
yang diterima petani dari
konsumennya, baik industri rokok maupun para
eksportir tembakau. Data dari Depperind,
harga tembakau kualitas terbaik
pada tahun 2004 hingga tahun 2005
masih sekitar Rp 60.000-Rp 70.000 per
kilogram. Sementara itu, untuk
kualitas menengah Rp 25.000-Rp 30.000 per
kilogram. Pada tahun 2006 naik
menjadi Rp 300.000 per kilogram untuk
kualitas terbaik (kelas I). adapun
tembakau tingkat menengah atau kelas A
sampai D antara Rp 30.000 dan Rp
40.000 per kilogram.
b. Bidang Pendidikan
Perusahaan-perusahaan rokok terbesar
di Indonesia menyediakan
sejumlah anggaran tertentu untuk
penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan, seni dan budaya.
Banyaknya penelitian dan
pengembangan dalam iptek yang disponsori
dan didanai oleh beberapa perusahaan
rokok besar di Indonesia.
Tak sedikit beasiswa ataupun bantuan
belajar yang diberikan oleh
perusahaan rokok kepada pelajar
berprestasi ataupun yang tak mampu hingga
mereka bisa melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi.62
62 Ibid, hal. 63
c. Bidang Sarana dan Prasarana
Fisik
Perusahaan-perusahaan rokok besar di
Indonesia juga menyediakan
anggaran dana yang termanifestasikan
dalam pembangunan sarana olahraga,
gedung kesenian, pengaspalan jalan,
sampai pembangunan tempat ibadah.
d. Bidang Kesejahteraan Sosial
Perusahaan rokok besar di Indonesia
menyediakan anggaran dana
yang termanifestasikan (sebagai
contoh) dalam rehabilitasi Rumah Sakit
Umum dan penghijauan kota.
3. Pengaruh Rokok terhadap
Kesehatan
Bahaya merokok bagi kesehatan telah
dibicarakan dan diakui secara
luas. Penelitian yang dilakukan para
ahli memberikan bukti nyata adanya
bahaya merokok bagi kesehatan si
perokok dan bahkan pada orang
disekitarnya.
Para ahli dari WHO menyatakan bahwa
di Negara dengan kebiasaan
merokok yang telah meluas, maka
kebiasaan itu mengakibatkan terjadinya
80%-90% kematian akibat kanker paru
di seluruh Negara itu, 75% dari akibat
kematian bronkitis, 40% kematian
akibat kanker kandung kencing dan 25%
kematian akibat penyakit jantung
iskemik serta 18% kematian pada stroke.
Menurut data WHO satu juta orang per
tahun di dunia meninggal karena
merokok dan 95% diantaranya oleh karena
kanker paru-paru. Kematian
karena kanker paru-paru bisa terjadi
pada perokok pasif, yaitu janin dalam
kandungan ibu perokok, anak-anak
dari orang tua perokok dan orang dewasa
bukan perokok yang berada dalam
lingkungan perokok.63
Dunia kesehatan menyatakan bahwa
kebiasaan merokok telah terbukti
berhubungan dengan sedikitnya 25
jenis penyakit dari berbagai alat tubuh
manusia, seperti kanker paru,
bronkitis kronik, emfisema, dan berbagai
penyakit paru lainnya. Selain itu
adalah kanker mulut, tenggorokan, pancreas
dan kandung kencing, penyakit
pembuluh darah ulkus peptikum dan lain-lain.
63 Tjandra Yoga Aditama, Rokok dan
Kesehatan, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 18
Satu-satunya penyakit yang
menunjukkan asosiasi negatif dengan kebiasaan
merokok adalah kematian akibat
penyakit Parkinson.
Doll dan Hill, dua orang peneliti
terkenal dari Inggris membagi
hubungan antara penyakit dan
kebiasaan merokok sebagai berikut: (a) yang
disebabkan oleh merokok yaitu kanker
paru, kanker kerongkongan, kanker
saluran nafas lainnya, bronkitis
kronik, emfisema. (b) mungkin seluruhnya
atau sebagian disebabkan oleh
merokok yaitu penyakit jantung iskemik,
aneurisma/pelebaran aorta, kerusakan
miokard jantung, thrombosis pembuluh
darah otak, arteriosklerosis,
pneumonia, ulkus peptikum, hernia dan kanker
kandung kemih.
Hammond dan Horn, dua peneliti Eropa
lainnya juga membagi
hubungan antara penyakit dan
kebiasaan merokok sebagai berikut: (a)
hubungan erat luar biasa
mengakibatkan kanker paru, kanker tenggorok,
kanker kerongkongan, dan ulkus
peptikum. (b) hubungan sangat erat
mengakibatkan pneumonia, ulkus
duodenum, aneurisma aorta. (c) hubungan
erat dapat menyebabkan penyakit
jantung koroner (d) hubungan sedang
mengakibatkan penyakit pembuluh
darah otak.
Dari tinjauan medis dan beberapa
fakta yang terkait di dalamnya,
setidaknya ini akan memberikan
sejumlah gambaran bagi kaum perokok
perihal persekutuannya bersama
sesuatu benda yang menjadi kawan setia
kemanapun serta. Persoalan apakah di
kemudian hari seorang perokok
menaruh pikiran lain terhadap
persekutuannya bersama dengan sebatang
lintingan tembakau kawan setianya
itu dikembalikan pada sikap masingmasing
individu (personal).
Adapun bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa rokok merusak
kesehatan adalah:
a. Kandungan rokok
Menurut ilmu kedoteran, rokok
mengandung lebih kurang 4000 bahan
kimia, diantaranya nikotin, tar,
karbon monoksida dan hydrogen sianida.
Nikotin dijumpai secara alami di
dalam batang dan daun tembakau yang
mengandung nikotin paling tinggi,
atau sebanyak 5% dari berat tembakau.
Nikotin merupakan racun saraf manjur
(potent nerve poison) dan digunakan
sebagai racun serangga. Pada suhu
rendah, bahan ini bertindak sebagai
perangsang dan adalah salah satu
sebab utama mengapa merokok digemari
dan dijadikan sebagai tabiat.
Selain tembakau, nikotin juga
ditemui di dalam tumbuhan family
Solanaceae termasuk tomat, terung ungu, kentang dan lada hijau. Nikotin
dapat merangsang dan meningkatkan
aktivitas, kewaspadaan atau refleksi,
kecerdasan serta daya ingat. Namun
di sisi lain, nikotin adalah racun yang
dapat menangkal dan menghilangkan
pengaruh berbagai macam obat,
misalnya: antibiotik yang digunakan
sebagai obat penangkal terhadap kuman,
kadang antibiotik tersebut gagal
memberi kesan yang diharapkan, disebabkan
oleh nikotin.
Kuinin, digunakan sebagai obat malaria, namun dengan banyaknya
nikotin di dalam tubuh akan mempercepat penyingkiran obat kuinin tersebut
dari tubuh. Teofilin sebagai
obat pereda sesak nafas, yang menurut hasil
penelitian, pada sebagian besar
perokok akan lebih cepat menyingkirkan
teofilin dibanding pasien yang tidak merokok. Benzodiazepine adalah
sejenis
obat tidur yang berdosis sangat
tinggi, namun pengaruh obat ini akan
berkurang jika si peminum obat
tersebut adalah perokok.
b. Proses kimiawi
Proses pembakaran rokok tidaklah
berbeda dengan proses pembakaran
bahan-bahan padat lainnya. Rokok
yang terbuat dari daun tembakau kering,
kertas, zat perasa yang dapat
dibentuk oleh elemen Karbon (C), elemen
Hidrogen (H), elemen Oksigen (O),
elemen Nitrogen (N), elemen Sulfur (S)
dan elemen-elemen lain yang
berjumlah kecil. Rokok secara keseluruhan
dapat diformulasikan secara kimia
yaitu sebagai (CvHwOtNySzSi). Dua
reaksi yang mungkin terjadi dalam
proses merokok. Pertama adalah reaksi
rokok dengan oksigen yang membentuk
senyawa-senyawa seperti CO2, H2O,
NOx, dan CO. Reaksi ini disebut
reaksi pembakaran yang terjadi pada
temperatur tinggi yaitu diatas 800
derajat Celcius. Selain reaksi kimia, juga
terjadi proses penguapan uap air dan
nikotin yang berlangsung pada
temperatur 100-400 derajat celcius.
c. Kandungan racun pada rokok
Asap rokok mengandung ribuan bahan
kimia beracun dan bahanbahan
yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen).
Kandungan racun pada
rokok itu antara lain:
1. Tar adalah substansi hidrokarbon
yang bersifat lengket dan mengiritasi
paru-paru.
2. Nikotin adalah zat adiktif yang
mempengaruhi sistem syaraf dan peredaran
darah karena darah lebih mudah
membeku serta merusak jaringan otak dan
mengeraskan dinding arteri.
3. Karbon monoksida adalah gas yang
terdapat pada asap rokok yang
mengikat hemoglobin dalam darah,
sehingga membuat darah tidak mampu
mengikat gas oksigen yang sangat
diperlukan sel-sel tubuh dalam proses
respirasi.
4. Acatona yaitu bahan kimia yang
digunakan sebagai penghapus cat.
5. Hydrogen Cyanide yaitu bahan
kimia yang digunakan sebagai racun untuk
hukuman mati.
6. Ammonia yaitu bahan kimia yang
digunakan sebagai pembersih lantai.
7. Methanol yaitu bahan kimia yang
digunakan sebagai bahan bakar roket.
8. Toluene
yaitu bahan kimia yang digunakan sebagagai bahan pelarut
industri.
9. Arsenic yaitu bahan kimia yang
digunakan sebagai racun tikus putih.
10. Butane yaitu bahan kimia yang
digunakan sebagai bahan bakar korek api.64
C. Rokok dalam pandangan ilmuwan
muslim
1. Pandangan yang membolehkan
Golongan yang memperbolehkan merokok
ini berpegang pada kaidah
bahwa asal segala sesuatu itu boleh,
sedangkan anggapan bahwa rokok itu
memabukkan atau menjadikan lemah itu
tidak benar. Iskar (memabukkan),
menurut mereka, berarti hilangnya
akal tetapi badan masih dapat bergerak,
dan takhdir ialah hilangnya
akal disertai keadaan badan yang lemah atau
64 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok
Haram, (Surabaya: PT Java Pustaka) 2008, hal. 38
loyo. Sedangkan kedua hal ini tidak
terjadi pada orang yang merokok.
Memang benar orang yang tidak biasa
merokok akan merasakan mual bila ia
pertama kali melakukannya, tetapi
hal ini tidak menjadikan haram. Jika orang
menganggap merokok sebagai perbuatan
israf, maka hal ini tidak hanya
terdapat pada rokok. Inilah pendapat
Al-Allamah Syekh Abdul Ghani An-
Nabilisi.65
Syekh Musthafa As Suyuthi Ar
Rabbani, pensyarah kitab Ghayatul
Muntaha fi Fiqhil Hanabilah berkata:
“Setiap orang yang mengerti dan ahli
tahqiq, yang mengerti tentang
pokok-pokok agama dan
cabang-cabangnya, yang mau bersikap obyektif,
apabila sekarang ia ditanya tentang
hukum merokok setelah rokok dikenal
banyak orang serta banyaknya
anggapan yang mengatakan bahwa rokok
dapat membahayakan akal dan badan
nicaya ia akan memperbolehkannya.
Sebab asal segala sesuatu yang tidak
membahayakan dan tidak ada nash yang
mengharamkannya adalah halal dan
mubah, sehingga ada dalil syara yang
mengharamkannya. Para muhaqqiq yang
telah sepakat berhukum kepada akal
dan pendapat tanpa sandaran syara
adalah batal.”
Inilah pendapat yang dikemukakan
Syekh Mushthafa yang didasarkan
pada kenyataan yang terjadi pada
zaman beliau. Seandainya beliau
mengetahui bahaya yang
ditimbulkannya seperti yang tampak pada hari ini,
niscaya dengan penuh keyakinan
beliau akan mengubah pendapatnya.
Meski banyak ulama yang tegas
menyatakan bahwa rokok hukumnya
haram, namun ada juga sebagian ulama
yang membolehkan. Diantaranya
adalah Imam Abdul Ghani An-Nabilisi,
ulama dari madzhab Hanafi.
Ulasannya mengenai hukum rokok dapat
dilihat dalam karya monumentalnya
Ash-Shulh Baina al-Ikhwan Fi
Hukmi Ibahah Syarb ad-Dukhon. Dalam kitab
tersebut beliau menyatakan bahwa
keterangan mengenai halalnya rokok
adalah benar, tidak perlu
dipersalahkan. Beliau menyatakan:
“Wahai umat Muhammad yang berilmu
dan mengamalkannya, lalu
menyangka bahwa rokok itu haram.
Anda keliru menyangka salah
65 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa
Kontemporer Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),
hal.827
pernyataanku. Sebab, pernyataan
tidak pernah bohong. Anda mengharamkan
rokok tidak pernah dilandasi ilmu dan
tidak pernah pula dengan esksperimen
yang benar. Eksperimen adakalanya
penuh dengan kebodohan dan kesalahan.
Bukankah dikatakan, bahwa rokok bisa
memberi kehangatan pada badan
meski juga bisa membahayakan akal.
Maka berfatwalah berdasar dua sifat
yang dikandungnya itu. Katakan bahwa
merokok bisa jadi suatu kejahatan
disamping juga ibadah. Mereka yang
hanya menganggap jelek pada rokok
dan mengharamkannya adalah suatu
penipuan besar. Pada mulanya rokok
memang berbahaya, namun setelah
dijemur ia menjadi boleh dikonsumsi.”66
Ulama lainnya adalah Imam Ali
Asy-Syabramalisi dan Sultan Al-
Halabi. Berdasarkan keterangan Abdul
Ghani An-Nabilisi, dua ulama tersebut
juga memiliki pandangan yang tidak
jauh berbeda dengan ulama-ulama
lainnya yang menghalalkan rokok. Bahkan
lanjutnya, penjelasan keduanya
lebih jelas dan lebih logis
dibanding ulama-ulama lainnya. Syaikh Al-Babili
adalah salah satu tokoh yang juga
tak kalah provoaktifnya menfatwakan
halalnya mengkonsumsi rokok.
“merokok itu hukumnya halal, dan zatnya pun
sama sekali tidak haram”, demikian
pernyataan beliau yang pernah dikutip
Syaikh Al-Barmawi. Namun, lebih jauh
beliau menjelaskan, bahwa yang
dimaksud tidak haram (halal) di sini
adalah bagi pengkonsumsi yang tidak
mengalami dampak buruk (mudharat)
dari rokok tersebut.67
2. Pandangan yang mengharamkan
Hukum rokok masih diwarnai
perdebatan panjang semenjak dahulu.
Ada yang mengharamkan namun adapula
yang membolehkan. Dan diantara
ulama yang ikut mengharamkan rokok
yaitu:
a. As-Syihab al-Qulyubi
Dalam khasyiahnya atas kitab al-jalal
al-mahalli karya Imam
Jamal (syarah kitab al-Minhaj karya
imam An-Nawawi), pada bab tentang
66 Muhammad Yunus BS, Kitab Rokok
Nikmat&Mudharat yang Menghalalkan atau
Mengharamkan (Yogyakarta: CV Kutub
Wacana, 2009), hal. 61
67 Ibid, hal. 63
najis ia menyatakan bahwa setiap
sesuatu memabukkan mesti bersifat cair,
seperti khamar dan yang sebangsanya.
Sesuatu yang cair itu, termasuk
bahan-bahan ekstasi atau pembius dan
hal-hal lainnya yang dapat merusak
akal. Bahan-bahan tersebut pada dasarnya
suci meski haram untuk
dikonsumsi karena pengaruhnya yang
dapat merusak akal.68
Menurut sebagian ulama, diantara
sesuatu yang dapat membius dan
merusak akal itu adalah rokok. Rokok
bisa merusak pertahanan tubuh dan
mendatangkan penyakit yang sangat berbahaya.
Melemahkan urat syaraf,
merusak pori-pori, bahkan dapat
memusingkan kepala.
b. Ibrahim Al-Laqani
Mengutip dari pendapat Imam Al-Jamal
dalam hasyiah kitab Al-
Minhaj, Al-Laqani menyatakan bahwa
diantara bahan-bahan yang dapat
membius itu adalah ganja, buah pala,
minyak ambar dan zakfaron, serta
bahan-bahan lainnya yang dapat
mempengaruhi dan merusak akal. Lebih
jauh Al-Laqani menyatakan:
Imam At-Tarabisy adalah termasuk
orang yang sependapat dengan
Al-Ajhuri. Dalam kitabnya yang
berjudul tabshirah al-ikhwan, pada bab
pembahasan mengenai dampak negaif
yang ditimbulkan tembakau atau
rokok, ia menyatakan bahwa
berdasarkan kesepakatan ulama telah dibuat
suatu ketetapan hukum bahwa rokok
termasuk bahan konsumsi yang
diharamkan karena dampak negatif
yang ditimbulkannya terhadap
kesehatan badan. Akan halnya segala
sesuatu yang memiliki kadar
pengaruh yang sama dengan rokok juga
haram untuk dikonsumsi.69
68 Ibid, hal. 50
69 Ibid, hal. 51
BAB IV
FATWA MUI TENTANG ROKOK MENURUT
HUKUM ISLAM
A. Aspek Metode Istinbath Hukum
Sebagaimana telah disepakati oleh
ulama, meskipun mereka berlainan
mazhab, bahwa segala ucapan dan
perbuatan yang timbul dari manusia, baik
berupa ibadah, muamalah, pidana,
perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau
pembelanjaan, maka semua itu
mempunyai hukum di dalam syariat Islam.
Hukum-hukum ini sebagian telah
dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di
dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, dan
sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash
dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, akan
tetapi syari’at telah menegakkan dalil
dan mendirikan tanda-tanda bagi
hukum itu, dimana dengan perantaraan dalil
dan tanda itu seorang mujtahid mampu
mencapai hukum itu dan
menjelaskannya.
Dari kumpulan hukum-hukum syara’
yang berhubungan dengan
ucapan dan perbuatan yang timbul dari
manusia, baik yang diambil dari nash
dalam berbagai kasus yang ada
nashnya, maupun yang diistimbatkan dari
berbagai dalil syar’i lainnya dalam
kasus-kasus yang tidak ada nashnya,
terbentuklah fiqh.70 Berdasarkan
penelitian diperoleh ketetapan di kalangan
ulama, bahwa dalil-dalil yang
dijadikan dasar hukum syar’iyyah mengenai
perbuatan manusia kembali kepada
empat sumber, yaitu: Al-Qur’an, As Sunnah,
Ijma, dan Qiyas. Sedangkan asas
dalil-dalil ini dan sumber syari’at Islam yang
pertama adalah Al-Qur’an kemudian As
Sunnah yang menafsirkan terhadap
kemujmalan Al-Qur’an, mengkhususkan
keumumannya, dan membatasi
kemutlakannya. As Sunnah merupakan
penjelas dan penyempurnaan terhadap
Al-Qur’an.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum
Islam ini, oleh ulama Ushul
diambil berdasarkan penelitian
terhadap hukum-hukum syara, illat-illatnya, dan
hikmah (filsafat) pembentukannya.
Diantara nash-nash itu pula ada yang
menetapkan dasar-dasar pembentukan
hukum secara umum, dan pokok-pokok
70 Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hal. 1
pembentukannya secara keseluruhan.
Seperti juga halnya wajib memelihara
dasar-dasar dan pokok-pokok itu
dalam mengistimbath hukum dari nashnashnya,
maka wajib pula memelihara
dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam
hal yang tidak ada nashnya, supaya
pembentukan hukum itu dapat merealisir apa
yang menjadi tujuan pembentukan
hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada
merealisir kemaslahatan manusia
serta menegakkan keadilan di antara mereka.71
Tujuan Syar’i dalam pembentukan
hukumnya, yaitu merealisir
kemaslahatan manusia dengan menjamin
kebutuhan pokoknya dan memenuhi
kebutuhan sekunder serta kebutuhan
pelengkap mereka. Jadi setiap hukum syara
tidak ada tujuan kecuali salah satu
dari tiga unsur tersebut, dimana dari tiga
unsur tersebut dapat terbukti
kemaslahatan manusia. Tahsiniyah tidak berarti
dipelihara jika dalam
pemeliharaannya itu terdapat kerusakan bagi Hajiyah. Dan
Hajiyah, juga Tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam
pemeliharaan salah
satunya terdapat kerusakan bagi Dharuriyah.
Kaedah pertama ini menjelaskan
tujuan umum Syari’ dalam
pembentukan hukum syara. Baik hukum
itu bersifat taklifi (pembebanan yang
wajib) atau wadhi’i (positif
buat manusia). Dan menjelaskan juga tingkatantingkatan
hukum menurut tujuannya. Mengetahui
tujuan umum syari’ dalam
pembentukan hukumnya adalah termasuk
sesuatu yang amat penting untuk
dijadikan alat penolong mengetahui
dengan jelas nash-nash pembentukan hukum
itu. Dan untuk menerapkan nash-nash
itu terhadap berbagai peristiwa. Di
samping itu juga untuk mengistimbath
hukum dalam peristiwa yang tidak ada
nashnya.
Karena isyarat lafal dan ungkapan
pada makna itu terkandung
mengandung beberapa segi, maka yang
dapat menguatkan salah satu di antara
beberapa segi ini ialah memperhatikan
tujuan Syari’. Dan kerena sebagian nash
itu terkadang lahirnya saling
kontradiksi, maka yang dapat menghilangkan
kontradiksi ini, dan dapat
mengkompromikan nash-nash itu, atau menguatkan
salah satunya, adalah memperhatikan
tujuan Syari’. Dan karena kebanyakan
peristiwa yang timbul itu terkadang
tidak dijangkau oleh ungkapan nash.
71 Prof. Abdul Wahhab Khallaf,
Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta: CV Rajawali, 1989), hal.
329
Sedangkan mengetahui hukum peristiwa
itu dengan dalil syara apa saja, sangat
diperlukan. Maka yang dapat memberi
petunjuk dalam menentukan dalil ini
(umpamanya) adalah mengetahui tujuan
Syari’.72
Karena itu, para penguasa hukum di
pemerintahan sekarang,
meletakkan catatan-catatan yang
berupa penafsiran yang dapat menjelaskan
tujuan pembuatan undang-undang
secara umum. Dan dapat menjelaskan tujuan
khusus dari setiap pasalnya.
Catatan-catatan yang bersifat penafsiran dan semua
pembahasan serta penelitian yang
terjadi di tengah-tengah menghadirkan
undang-undang dan melaksanakannya
adalah bantuan penguasa hukum untuk
memahami undang-undang dan
menerapkannya bersama teksnya, jiwanya, dan
pengertiannya.
Begitu juga, nash-nash hukum Syara
itu tidak dapat dimengerti
menurut jalannya yang benar kecuali
apabila telah diketahui tujuan Syari’ dalam
mensyariatkan hukum-hukum itu. Juga
telah diketahui bagian-bagian peristiwa
yang lantaran itu diturunkanlah
hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an,
atau yang dengan itu datanglah
as-Sunnah. Baik berupa ucapan atau perbuatan.
Kaidah ushuliyyah itu: Bahwa
tujuan umum Syari’ dalam
mensyariatkan hukum, ialah
merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan
ini, menarik keuntungan untuk
mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka.
Karena kemaslahatan manusia dalam
kehidupan ini terdiri dari beberapa hal
yang bersifat dharuriyah (kebutuhan
pokok) hajiyah (kebutuhan sekunder) dan
tahsiniyah (kebutuhan pelengkap). Maka jika dharuriyah, hajiyah dan
tahsiniyah mereka telah terpenuhi, berarti telah nyata kemaslahatan mereka.
Seorang ahli hukum (syari’) yang
muslim, tentunya mensyariatkan hukum dalam
berbagai sektor kegiatan manusia
untuk merealisir pokok-pokok dharuriyah,
hajiyah dan tahsiniyah bagi perorangan dan masyarakat. Dia tidak akan
membiarkan dharuriyah, hajiyah dan
tahsiniyah dengan tanpa mensyariatkan
hukum untuk merealisir dan
memelihara dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah itu.
Dia juga tidak mensyariatkan hukum
kecuali untuk mewujudkan atau
memelihara salah satu di antara tiga
hal itu. Jadi, dia tidak mensyariatkan hukum
72 Ibid, hal. 330
kecuali untuk merealisir
kemaslahatan manusia. Dan dia tidak membiarkan
maslahatan yang dikehendaki oleh
kondisi manusia dengan tidak mensyariatkan
hukum demi maslahat itu.73
Adapun bukti bahwa kemaslahatan
manusia itu tidak melampaui tiga
hal tersebut, ialah perasaan dan
kenyataan. Karena setiap individu atau
masyarakat itu, kepentingannya
terdiri dari hal-hal yang bersifat primer,
sekunder, dan pelengkap. Contoh:
keperluan pokok bagi tempat tinggal manusia,
adalah tempat yang dapat melindungi
dari terik matahari, dan cekaman
kedinginan, sekalipun terjadi di
gunung. Kebutuhan sekunder, yaitu apabila
tempat tinggal itu memberi
kenyamanan untuk ditempati, seperti jika tempat
tinggal itu mempunyai jendela yang
bisa dibuka dan ditutup menurut kebutuhan.
Sedangkan kebutuhan pelengkap yaitu
apabila tempat tinggal itu diperindah dan
dilengkapi dengan perkakas serta
sarana-sarana peristirahatan. Apabila tempat
tinggal itu telah terpenuhi dengan
semua itu, berarti telah terlaksana keperluan
(maslahat) manusia dalam soal
papannya. Demikian pula dalam hal pangan dan
sandangnya. Juga hal yang menyangkut
keperluan hidupnya. Kebutuhannya itu
telah terbukti nyata. Lantaran telah
terpenuhinya tiga faktor itu padanya begitu
pula dengan masyarakat. Apabila
telah terpenuhi bagi individu-individunya, halhal
yang memberi jaminan akan wujud dan
terpeliharanya kebutuhan pokok,
sekunder, dan pelengkapnya, berarti
telah terpenuhi bagi mereka, hal-hal yang
memberi jaminan kemaslahatannya.
Adapun dalil bahwa setiap hukum
Islam itu hanya disyariatkan untuk
mewujudkan salah satu di antara tiga
faktor tersebut diatas (yakni kebutuhan
primer, sekunder, dan pelengkap) dan
memeliharanya, ialah hasil research
terhadap hukum-hukum syara yang
bersifat keseluruhan (global) dan bagianbagian
dalam berbagai peristiwa. Juga hasil
research terhadap beberapa illat
(alasan) dan filsafat pembentukan
hukum yang boleh Syari’ dibarengi dengan
berbagai hukum.
Adapun hal yang besifat dharuri,
yaitu sesuatu yang menjadi pokok
kebutuhan kehidupan manusia, dan
wajib adanya untuk menegakkan
73 Ibid, hal. 331
kemaslahatan bagi manusia itu
(primer). Apabila tanpa adanya sesuatu itu, maka
akan terganggu keharmonisan
kehidupan manusia, dan tidak akan tegak
kemaslahatan-kemaslahatan mereka.
Serta terjadilah kehancuran dan kerusakan
bagi mereka. Hal-hal yang bersifat
primer bagi manusia dalam pengertian ini
berpangkal kepada memelihara lima
perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta. Jadi memelihara salah satu di
antara lima perkara itu, adalah merupakan
kepentingan yang bersifat primer
bagi manusia.74
Sedangkan yang bersifar haji (sekunder),
ialah sesuatu yang
diperlukan oleh manusia dengan
maksud untuk membuat ringan dan lapang.
Juga untuk menanggulangi
kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul, dan
kepayahan-kepayahan dalam mengarungi
kehidupan. Apabila hal itu tidak
terpenuhi, tidak berarti dapat
merusak keharmonisan kehidupan manusia dan
tidak akan ditimpa oleh kehancuran.
Seperti jika kebutuhan dharuriyah tidak
dapat terpenuhi. Hanya saja manusia
akan menerima kepayahan dan kesulitan.
Faktor-faktor luar bagi manusia
dalam pengertian ini berpangkal kepada tujuan
menghilangkan kepayahan mereka,
meringankan dalam menanggulangi
kesulitan-kesulitan beban hidup. Dan
mudahlah bagi mereka menempuh caracara
pergaulan, pergantian, dan jalan-jalan
menempuh kehidupan.
Dan Tahsini, yaitu sesuatu
yang di tuntut oleh norma dan tatanan
hidup, serta berperilaku menurut
jalan yang lurus. Apabila hal itu tidak ada,
tidak berarti merusak keharmonisan
kehidupan manusia seperti ketika tidak
adanya hal yang bersifat dharuriyah.
Juga tidak ditimpa kepayahan seperti ketika
tidak adanya hal yang bersifat
hajiyah. Hanya saja kehidupan mereka
bertentangan dengan akal sehat dan
naluri yang suci. Hal-hal yang bersifat
membuat elok manusia (tahsini) dalam
pengertian ini adalah berpangkal kepada
akhlak mulia, tradisi yang baik dan
segala tujuan perikehidupan manusia
menurut jalan yang paling baik.
Memberi fatwa lebih khusus dibanding
ijtihad. Sebab ijtihad adalah
kegiatan istinbath hukum, baik
karena ada pertanyaan/persoalan atau tidak,
seperti yang dilakukan Abu Hanifah
dalam kegiatan pengkajiannya ketika
74 Ibid, hal. 333
mencoba meneliti persoalan-persoalan
furu yang beraneka ragam, dan berhasil
menelorkan kewajiban-kewajiban yang
banyak . kegiatan itu dilakukan untuk
menguji qiyas-qiyas yang illatnya
akan dipakai beristinbath, dan untuk diketahui
kelayakan illat-illat tersebut guna
menyusun kerangka qiyas. Sedangkan ifta
hanya dilakukan ketika ada kejadian
nyata, dan seorang ahli fiqh berusaha
mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik
dari seorang mujtahid, di samping
harus memenuhi semua persyaratan
ijtihad, harus memenuhi pula beberapa
persyaratan yang lain, yaitu
mengetahui secara persis kasus yang diminta
fatwanya, mempelajari psikologi
peminta fatwa dan masyarakat lingkungannya,
agar dapat diketahui dampak dari
pada fatwa tersebut, dari segi positif dan
negatifnya, sehingga tidak membuat
agama Allah menjadi bahan tertawaan dan
permainan.
Oleh karena itu, para ulama sangat
memperketat persyaratan mufti.
Diceritakan dari Imam Ahmad bin
Hanbal, bahwa ia mengemukakan beberapa
syarat bagi mufti, yaitu:
“Seseorang seyogianya tidak
mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi
lima hal: Pertama, memasang
niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta
ucapannya tidak mendapat nur (pencerahan).
Kedua, bertindak atas dasar ilmu,
penuh santun, wibawa dan ketenangan.
Ketiga, mempunyai kekuatan untuk
menghadapi dan mengetahui persoalan
yang akan dikeluarkan fatwanya.
Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu
yang memadai, maka ia akan
dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.
Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat. ”
Dari keterangan tersebut, nampaknya
Imam Ahmad bin Hanbal
memperhatikan psikologi (kesiapan
jiwa) mufti, kerabatnya, serta kehormatan
masyarakat, sebagaimana halnya ia
harus mempunyai kemampuan melihat
pengaruh/dampak fatwanya serta
tersebarnya fatwa tersebut di tengah
masyarakat. Jika ia melihat akan
berpengaruh buruk, maka ia harus menahan diri
dari mengeluarkan fatwa. Jika ia melihat
tidak akan membawa dampak buruk,
maka silahkan ia berbicara
(berfatwa).
Seorang mufti harus menyadari bahwa
dirinya adalah pemberi
petunjuk dan pembimbing umat.
Fatwanya harus berorientasi untuk kepentingan
kemaslahatan masyarakat. Dalam hal
ini Imam as-Syatiby berkata:
“Mufti yang mencapai tingkat tinggi
adalah mufti yang memberikan
fatwa dengan pendapat tengah-tengah
yang dapat diterima mayoritas
masyarakat. Maka, ia tidak
menawarkan madzhab dengan pendapat yang berat
dan tidak pula turun kepada pendapat
yang ringan.”
As-Syatiby memberikan alasan, bahwa
mengambil salah satu dari dua
sudut pendapat yang ekstrem akan
keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke
arah kelaliman. Ia menegaskan, segi
yang memberatkan mendatangkan kepada
kerusakan, sedang segi toleransi
yang mutlak akan mendatangkan kepada
kelemahan.
Pintu rukhshah (kemurahan)
terbuka lebar di depan seoarang mufti.
Dengan rukhshah ia hadir
mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),
apabila ia melihat bahwa menerapkan azimah
(hukum asal) akan mendatangkan
kesulitan dan kesusahan. Sesunguhnya
Allah suka bila dijalankan rukhshahrukhshah
nya. Sebagaimana halnya suka bila
dilaksanakan azimah-azimah nya.
Dalam keadaan dimana azimah menimbulkan
kesusahan, maka rukhshah lebih
disukai Allah daripada azimah. Sebab
Allah menginginkan hambanya
memperoleh kemudahan, tidak
menginginkan tertimpa kesusahan.
Apabila seorang mufti tidak mencapai
derajat ijtihad semisal belum
memenuhi semua persyaratan ijtihad,
maka apakah diperbolehkan memilih
pendapat dari madzhab yang paling
mudah (ringan) untuk dijalankan
masyarakat? perbedaan pendapat
sahabat terbukti telah berhasil menghilangkan
kesempitan yang dihadapi masyarakat,
sebagaimana dikatakan oleh Umar bin
Abdul Aziz:
“Sungguh berkat perbedaan pendapat
sahabat Rasulullah saw,
persoalan keledai menjadi mudah
bagiku. Seandainya hanya ada satu pendapat,
niscaya masyarakat akan mengalami
kesulitan.”
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang
mufti apabila telah mempunyai
kemampuan berijtihad dimana ia mampu
menilai kekuatan diantara dalil-dalil
yang digunakan dan mampu menyeleksi
pendapat dari berbagai madzhab yang
berbeda-beda atas dasar istidlal,
maka dalam berfatwa ia boleh memilih salah
satu pendapat dari berbagai madzhab.
Dalam menetapkan pilihannya ia harus
berpegang pada tiga hal:
Pertama, tidak memilih pendapat yang masih simpang siur dalilnya.
Sekiranya orang yang mengeluarkan
pendapat itu menyaksikan dalil-dalil yang
dipakai ulama lain, pastilah ia
mencabut kembali pendapatnya.
Kedua, fatwanya membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Ia
harus membimbing masyarakat dengan
mengambil jalan tengah, tidak
mengambil pendapat yang paling
berat, tidak pula mengambil pendapat yang
paling ringan.
Ketiga, dalam memilih pendapat, ia harus punya niat dan tujuan yang
baik. Karena itu, ia tidak boleh
memilih pendapat demi untuk menyenangkan
pemerintah atau memenuhi keinginan
(selera) masyarakat, sementara ia tidak
memperdulikan amarah dan ridha Allah
swt. Hendaknya ia jangan sampai
seperti para mufti yang berusaha
mengetahui/menangkap keinginan pemerintah
sebelum mengeluarkan fatwanya.
Mereka memberi fatwa demi kepentingan
pemerintah, bukan demi kebenaran.
Mereka itulah kaum yang bejat. Sungguh
masyarakat menyaksikan sebagian
mufti memberi peluang kemudahan kepada
pemerintah dan dirinya, dan
melemparkan hal-hal yang berat kepada masyarakat
luas. Ia memilih untuk dirinya
pendapat yang paling ringan, dan memilih dari
sekian pendapat madzhabnya yang
hendak difatwakan untuk orang lain pendapat
yang paling berat.
Imam as-Syatiby bercerita tentang
seorang ahli fiqh yang memberi
fatwa di Andalusia, lalu diskors
lantaran beberapa hal yang dianggap melanggar
kode etik. Ia terus diskors sampai
datang suatu kejadian dimana ia mengeluarkan
sebuah fatwa yang menguntungkan
pemerintah. Ringkas cerita, tepat
bersebelahan di istana an-Nasr,
Gubernur (Amir) Andalus, terdapat tanah wakaf
yang merusak pemandangan. Sebab
tanah wakaf itu terletak berhadapan dengan
taman, tempat Gubernur bersantai.
Lebih-lebih, tanah wakaf itu sangat
mengganggu pemandangan jika dilihat
dari atas istananya.
Gubernur menawarkan untuk memberi
ganti rugi tanah itu dan
bermaksud menggabungkannya ke dalam
tamannya. Ide atau keinginan ini
disampaikan kepada Baqiy bin
Mukhallid, seorang ulama dan mufti terkemuka
di negeri itu. Ia lalu mengumpulkan
semua ulama guna memperoleh kesepakatan
pendapat. Ternyata mereka sepakat
melarang penjualan tanah wakaf, sejalan
dengan pendapat madzhab malik.
Nampaknya mereka menyembunyikan sesuatu
dibalik fatwanya. Yaitu, mereka
bermaksud mengekang keinginan hawa nafsu
sang Amir, sehingga mereka sampai
mengeluarkan pendapat yang tidak sejalan
dengan keinginan pemerintah.
Akibatnya, tatkala fatwa hasil penemuan ulama
itu diumumkan, sang Amir merasa
kurang berkenan, meski ia tetap
mematuhinya.
Muhammad bin Yahya bin Lubabah, ahli
fiqh yang terkena skorsing
diatas, mengetahui peristiwa
tersebut, lantas berkirim surat kepada sang Amir
yang isinya memperbolehkan apa yang
menjadi keinginannya (membayar ganti
rugi tanah wakaf). Dalam memberi
fatwa, ia mengambil madzhab Abu Hanifah
yang menegaskan bahwa benda wakaf
tidak permanen. Ia bisa diwariskan dan
tidak lagi menjadi benda wakaf
sepeninggal pewakaf.
Setelah menerima surat itu, sang
Amir segera mempertemukan ahli
fiqh itu dengan ulama-ulama di
negerinya untuk berdialog. Para ulama tetap
bersikukuh dengan pendapatnya.
Lantas ahli fiqh yang terkena skorsing (almahjur
alaih)
dari menjalankan tugas di pengadilan tersebut berkata kepada para
ulama yang hadir: “aku bersumpah
kepada Allah! Apakah kalian akan merasa
keberatan seandainya dalam kasus
tanah wakaf aku mengambil pendapat selain
Malik untuk ku fatwakan khusus untuk
diri kalian. Adakah kalian dengan senang
hati akan mengambil rukhshah tersebut
?” para ulama itu dengan serentak
menjawab: ya benar…..” kalau begitu,
kata ahli fiqh tadi, lebih-lebih Amirul
Mu’minin. Maka, ambillah pendapat untuk Amirul Mu’minin pendapat yang
kalian juga bekenan mengambilnya dan
berpeganglah kepada pendapat ulama
yang sesuai dengan harapannya. Sebab
semua ulama mujtahid adalah panutan.
Para ulama yang hadir hanya bisa
diam.
Usai pertemuan, si qadhi segera
membuat laporan jalannya
persidangan untuk disampaikan kepada
si Amir. Selanjutnya, Amirul Mu’minin
mengambil fatwa ahli fiqh tersebut
dan memberikan ganti rugi tanah wakaf
dengan harga yang berlipat ganda.
Wajib bagi ulama yang hendak memilih
satu pendapat dari madzhabmadzhab
yang ada untuk memperhatikan tiga
hal sebagai berikut:
Pertama, mengikuti pendapat madzhab
karena pertimbangan dalilnya.
Sehingga ia tidak memilih satu pendapat
dari pendapat-pendapat dalam
madzhab, yang paling lemah dalilnya.
Namun sebaiknya, ia memilih pendapat
yang paling kuat dalilnya, dan tidak
mengikuti fatwa yang syadz (aneh). Selain
itu, ia harus menguasai metodologi
dari madzhab yang dipilihnya. Ini berarti
menghendaki ulama yang bersangkutan
adalah seorang mujtahid yang dengan
kemampuannya menyeleksi dalil
tingkatan ijtihadnya tidak turun ke tingkatan
taqlid. Termasuk ke dalam kategori
ini, adalah Ibnu Taimiyah. Ia banyak
melakukan seleksi-seleksi terhadap
pendapat-pendapat madzhab. Jika yang
bersangkutan tidak memiliki
kemampuan tersebut, maka alangkah baiknya
membatasi diri saja dengan mengambil
madzhab yang diketahuinya, jika
memang ia telah mencapai derajat
mufti.
Kedua, berijtihad sesuai dengan kemampuannya
dengan tidak
meninggalkan pendapat yang telah
disepakati (mujma’ alaih) untuk mengambil
pendapat yang masih diperselisihkan
(mukhalaf fih). Misalnya, apabila seorang
mufti yang telah menguasai dengan
baik madzhab-madzhab Islamiyah, ditanya
tentang kebolehan seorang wanita
menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam akad
pernikahan, maka hendaknya ia tidak
berfatwa dengan menggunakan pendapat
Abu Hanifah yang sendirian. Meski
demikian, tidak ada salahnya seandainya ia
menjelaskan kepada penanya mengenai
pendapat Abu Hanifah yang tidak
dipakai, sekaligus menjelaskan
alasan mengapa ia memilih pendapat jumhur.
Disebutkan misalnya, masalah ini
adalah masalah pelik yang menyangkut
hukum haram dan halal. Pendapat Jumhur
diambil semata-mata karena kehatihatian
(ikhtiyath).
Jika masalahnya menyangkut masalah
khilafiyah, hendaklah seorang
mufti berhati-hati demi kepentingan
syara’ dan orang yang meminta fatwa,
dengan tidak mengambil pendapat yang
syadz dan yang keluar dari rel syara’.
Misalnya, jika ia ditanya oleh
seorang lelaki yang bermaksud mengawini
seorang wanita yang pernah menyusu
dari ibu lelaki itu hanya satu kali isapan,
maka hendaknya ia berfatwa dengan
madzhab Abu Hanifah dan Malik yang
menganggap bahwa menyusu meskipun
hanya sedikit (satu atau dua kali isapan)
mengakibatkan terjadinya hubungan mahram.
Akan tetapi, jika si penanya telah
terlanjur mengawini perempuan yang
punya hubungan persusuan yang tidak
mencapai lima kali isapan dan
kejadian itu baru diketahui setelah beranak pinak,
maka demi kepentingan anak-anak
diperkenankan berfatwa dengan mengambil
pendapat yang menghalalkan. Dengan
syarat, hal itu semua telah ditinjau ulang
seluruh dalil yang berhubungan
dengan kasus yang dihadapi dan tidak
ditemukan satu dalil pun yang qath’iy.
Ketiga, tidak mengikuti selera
masyarakat. Tapi, ia harus
mengutamakan kemaslahatan dalil.
Maslahat yang mu’tabar adalah
kemaslahatan umum. Jangan sampai
fatwa yang dikeluarkan menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal.
Maka, seorang ahli fiqh yang memilih
pendapat madzhab Hanafi yang
memperbolehkan menjual benda wakaf demi
memenuhi keinginan Amir (penguasa)
yang merasa terganggu pemandangannya
karena adanya tanah wakaf di depan
tamannya, sebaiknya menyarankan kepada
sang Amir agar memperbaiki tanah
wakaf itu sehingga pemandangannya
menjadi indah, daripada harus
memenuhi selera tingginya.
Para ulama telah sepakat bahwa
seorang mufti harus mengamalkan
apa yang telah difatwakan kepada
masyarakat. Seandainya ia mengambil
pendapat yang ringan untuk dirinya,
sementara melarang untuk diamalkan
masyarakat luas, berarti ia berlaku
tidak adil, kecuali karena ada alasan
kebutuhan yang beresifat pribadi.
Kalau saja hal serupa dihadapi oleh orang lain,
niscaya ia juga berfatwa dengan
hukum yang ringan seperti yang ia terapkan
untuk dirinya.
Dalam memecahkan suatu masalah,
seorang mufti harus bekerja
pelan-pelan, tidak boleh
tergesa-gesa. Ia harus memikirkan dan mendalami betul
kasusnya, dampak dari fatwanya,
serta kondisi orang yang meminta fatwa. Cara
kerjanya yang pelan-pelan itu tidak
akan mengurangi kredibilitasnya sebagai
mufti sepanjang dalam rangka
menemukan kebenaran. Pemecahan suatu kasus
tidak ada hubungannya dengan
kecepatan dan keterlambatan.
Imam “bumi hijrah” Malik bin Anas
tergolong lamban (berhati-hati)
dalam memberikan fatwa. Sehingga
untuk memecahkan satu masalah, ia
memerlukan waktu sampai beberapa
hari. Ia berkata: “Terkadang satu masalah
yang kuhadapi memaksaku lupa makan,
minum dan tidur.” Ada yang berkata
kepadanya: “Wahai Abu Abdillah (nama
julukan Imam Malik)! Demi Allah,
ucapanmu di tengah-tengah masyarakat
bagaikan ukiran di atas batu. Tidak
sekali-kali engkau mengeluarkan
pendapat kecuali seluruh masyarakat
menerimanya.” Imam Malik menjawab
singkat: “Hal itu adalah wajar.”
Maksudnya, masyarakat dapat menerima
dengan baik pendapat-pendapatnya,
karena mereka melihat cara kerjanya
yang penuh kehati-hatian dan tidak
ngawur.
Yang pasti, seorang mufti yang benar
berperan seperti peran yang
dimainkan para nabi. Sebagaimana
diketahui, para nabi bertugas menjelaskan
perkara yang halal dan haram kepada
manusia. Dengan demikian, ia bertugas
menyampaikan syari’at yang dibawa
nabi kepada masyarakat. Ia adalah
pengganti kedudukan dan pewaris nabi
dalam menjelaskan syari’at agama
kepada masyarakat umum. Karena itu,
tiada tempat baginya untuk memenuhi
hawa nafsunya, berhenti tatkala
melangkah terlalu maju dan berbicara demi
kebenaran jika telah didukung oleh
bukti-bukti yang kuat serta tidak takut akan
cercaan orang dalam membela agama
Allah.
Buku pedoman terperinci untuk
mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh
MUI, yang menerangkan bahwa
dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut
urutan tingkatannya adalah:
al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Hal ini harus
disusuli dengan penelitian pendapat
para imam madzhab yang ada dan fuqaha
yang telah melakukan penelaahan
mendalam tentang masalah serupa.75
Jadi, dalam penyusunan dan
pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh
komisi fatwa MUI. Komisi itu
bertugas untuk merundingkan dan mengeluarkan
fatwa mengenai persoalan-persoalan
hukum Islam yang dihadapi masyarakat.
Persidangan-persidangan Komisi Fatwa
diadakan menurut keperluan atau bila
MUI telah diminta pendapatnya oleh
umum atau oleh pemerintah mengenai
persoalan-persoalan tertentu dalam
hukum Islam. Persidangan semacam ini, di
samping ketua dan para anggota
komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar,
75 Robitul Firdaus, skripsi, UII:
FIAI, 2008, hal. 67
terdiri dari para ulama bebas dan
para ilmuwan sekular, yang ada hubungannya
dengan masalah yang dibicarakan.76
B. Aspek Manfaat dan Mudharat
Merokok
Keberadaan rokok bagi setiap perokok
terutama bagi kaum perokok
aktif tentunya adalah sebuah benda
yang wajib ada dan dibawa kemana serta.
Sama halnya dengan rasi bintang di
langit bagi seorang petualang rimba raya ia
adalah kawan setia, teman berbagi,
sekaligus kompas penunjuk jalan.
Namun jika sebuah pertanyaan, apa
sih yang terkandung dalam setiap
batang rokok ? itu diajukan kepada
mereka, barang kali hanya segelintir orang
saja yang bisa mengemukakan argument
dengan referensi yang kuat beserta
dengan data-data yang akurat. Ini
adalah fakta yang menggelikan sekaligus
ironis, bahwasanya mereka (kaum
perokok) seolah telah menjalin sebuah
persekutuan dengan sesuatu yang tak
mereka ketahui asal-usulnya, seperti
berpetualang dalam sebuah perjalanan
tanpa peta.77
Merokok dalam wacana keseharian
adalah suatu perbuatan yang
terlanjur mendapatkan stigma buruk
di masyarakat. Pun tak bisa dipungkiri,
bagaimanapun juga, merokok dalam
kajian medis adalah tindakan yang
merugikan kesehatan, baik bagi
perokok pasif maupun perokok aktif. Tulisan ini
sama sekali bukan suatu propaganda
ataupun pernyataan sepihak bahwasanya
merokok itu sama sekali tak
beresiko, tak ada efek samping penggunaannya
ataupun sama sekali tak merugikan
kesehatan. Ini bukan pula suatu common
sense pembelaan perihal pembelaan kaum perokok akan kebiasaannya
menghisap tembakau yang menjurus ke
sesat pikir. Pada dasarnya, memang
secara medis konsumsi rokok dalam
jumlah dan jangka waktu tertentu dapat
membahayakan kesehatan.
Akan tetapi, ada banyak fakta dan
studi kasus yang memberikan
penilaian ataupun rujukan bahwa
merokok pun mempunyai sisi baik, baik dari
tinjauan psikologis, sosiologis
bahkan sekalipun dalam kacamata kesehatan.
76 Basalamah, perkembangan, hal. 205
77 Suryo Sukendro, “Filosofi Rokok”
Sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus,
2007), hal. 79
Tulisan ini bermaksud menguak sisi
dan fakta-fakta tersembunyi dari kebiasaan
merokok yang selama ini mendapatkan
stigma buruk di masyarakat. Sisi dan
fakta yang tersembunyi yang akan
dibahas, bukanlah hal yang tabu seperti
halnya membicarakan perihal seks,
bahkan dalam berbagai kajian yang tabu.
Namun lebih merujuk pada fakta
konkret, dengan data yang tersajikan dalam
uraian, perihal sisi baik pada
rokok.78
Tulisan ini memberikan sebilah
catatan bahwasanya pada kasus-kasus
tertentu, dengan dosis dan takaran
tertentu, merokok adalah mempunyai sisi
manfaat (baik). Bahwa awal mula
penemuan penggunaan daun tembakau di
dunia ini adalah untuk pengobatan.
Ini tak bisa disangkal dan sejarah telah
mencatat bahwasanya awal penemuan
penggunaan tembakau oleh para
penduduk asli Amerika (baca: Indian)
adalah bagian terpenting dalam ritual
pengobatan dan upacara.
Rombongan para pelaut Spanyol
dibawah pimpinan Cristophorus
(Cristopher) Columbus. (1451-1506)
menemukan benua Amerika pada 1492.
Setelah melakukan serangkaian
pendaratan di berbagai pulau di benua itu, pada
2 November 1492 rombongan Columbus
mendarat di pulau Waitling, dan
mereka melihat sebuah perahu lesung
orang Indian yang berisi muatan, di
antaranya daun-daun kering yang
kelak dikenal sebagai tembakau. Orang Indian
memakainya sebagai tembakau cium,
dan sebagian dirokok yang kesemuanya
itu berkhasiat sebagai obat.
Menurut Harrison (Budiman, 1987 :
20), pada 1573 telah terjadi
pengambilalihan adat kebiasaan
merokok daun pengobat orang Indian yang
disebut “tabaco” dengan
menggunakan alat seperti mangkuk kecil. Dengan cara
seperti ini asap rokok bisa masuk
dari mulut kedalam perut dan kepala.
Perbuatan ini banyak dilakukan di Inggris
untuk melawan penyakit encok dan
beberapa macam penyakit lainnya yang
telah berurat, berakar di dalam paru-paru
dan bagian-bagian di dalam perut dan
bukannya tanpa efek.
Perihal awal mula penemuan rokok
keretek di Indonesia pun
ditengarai berawal dari kisah
“ketidaksengajaan” untuk mencari obat penyembuh
78 Ibid, hal. 20
sakit napas. (Budiman, 1987),
pembuatan rokok di Indonesia dimulai oleh
seorang bernama Haji Jamahri. Awal
mulanya, penduduk asli kota Kudus, pantai
utara Jawa, itu telah lama mengidap
rasa nyeri di dadanya. Untuk mengurangi
rasa sakitnya itu, ia mengusapkan
dada dan pinggangnya dengan minyak
cengkeh, bahkan memamah-mamah
cengkeh. Hasilnya, rasa sakitnya kemudian
banyak berkurang.
Lantas timbul gagasan dari Haji
Jamahri untuk memakai rempahrempah
itu sebagai obat dengan cara
berbeda. Ia lalu merajang cengkeh sampai
halus, kemudian mencampurnya dengan
tembakau, dan dibungkus dengan daun
jagung dan kemudian dibakar
ujungnya. Dengan cara menghirup asapnya
sampai masuk ke paru-paru, ia merasa
sakit di dadanya berangsur-angsur
sembuh.79
Namun seperti dalam karangan
Berthold Laufer, Tobacco And It’s Use
In Asia (1924), ia mengutip keterangan seorang penulis Tionghoa kontemporer
yang tidak disebutkan namanya, yang
menyatakan, perintah kaisar ini dengan
segera telah dibatalkan, oleh karena
tidak ada obat yang lebih mujarab untuk
menyembuhkan penyakit pilek di
kalangan ketentaraan selain tembakau (yang
dirokok).80
Ternyata rokok juga mempunyai
manfaat baik dari sisi medis
kesehatan, psikis, maupun
sosiologis.
Secara Kesehatan
Ternyata rokok juga bisa membantu
mengurangi risiko Parkinson.
Parkinson adalah hilangnya sel-sel otak yang memunculkan zat kimia dopamine,
sehingga berdampak gemetar, dingin,
gerak lambat dan bermasalah dengan
keseimbangan tubuh.
Laborat di Amerika mempelajari 210
pria dan wanita pengidap
Parkinson dan 310 orang sehat. Hasilnya, perokok memiliki risiko lebih rendah
79 Amen Budiman, Onghokham, Rokok
Keretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi
Pembangunan Bangsa dan Negara, (Kudus:
PT Djarum, 1987), hal. 4
80 Suryo Sukendro, “Filosofi Rokok”
Sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus,
2007), hal. 22
sampai 50% terkena penyakit Parkinson.
Bahkan, perokok berat 70% lebih
rendah terkena penyakit itu.
Para peneliti juga menyatakan,
peminum teh dan cola memiliki faktor
pengurang risiko Parkinson ketimbang
mereka yang hanya mengkonsumsi air
putih. Racun yang ada pada teh atau
cola, memungkinkan menghambat
perjalanan enzim penyebab Parkinson.
Begitu juga dengan nikotin, sehingga
lepas dari perbincangan kanker atau
batuk, rokok memiliki kekuatan
menghambat atau membunuh zat kimia
penyebab Parkinson yang masuk ke sel
otak.81 Kesimpulannya, nikotin bisa
membantu melindungi sel-sel otak.
Manfaat Psikologis
Rokok memang sangat berpengaruh
terhadap psikis seseorang.
Banyak temuan fakta perihal
banyaknya perokok yang merasakan peningkatan
kondisi, mood, kemampuan belajar,
mengurangi stress dan lelah, serta
kemampuan memecahkan masalah saat
mengisap sebatang rokok.
“Merokok dapat menghilangkan
kecemasan atau stress” anggapan ini
diperkuat oleh dukungan para dokter
pada masa itu sehingga fungsi rokok
dikenal secara luas sebagai
penenang. Orang-orang yang dilanda kebingungan
karena suatu masalah pelariannya
adalah rokok. Di Amerika Serikat sendiri,
karena penduduknya banyak yang
mengalami kecemasan atau stress, jumlah
orang yang mengisap rokok di negeri
Paman Sam itu berkembang sangat pesat.
Bayangkan saja, pada tahun 1910
ditemukan seorang yang berumur delapan
belas tahun ke atas menghabiskan 144
batang rokok dalam setahun. Pada tahun
1963 angka ini meningkat menjadi
4346 batang yang dihisap setiap orang dalam
setahun.82
Manfaat Secara Sosiologis
Bahwasanya rokok telah menjadi
semacam perantara dan kemudian
dianggap telah menjadi bagian dari
kebiasaan dalam masyarakat dalam sebuah
komunikasi formal maupun informal
antara dua orang atau lebih. Rokok telah
81 http://www.minggupagi.com.diakses
20 Juni 2009
82 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok
Haram, (Surabya: PT Java Pustaka, 2008), hal. 12
biasa dicatut sebagai pencair
suasana dalam kelas obrolan ringan hingga
negosiasi penting. Dalam kalimat
lain “sebatang rokok adalah negosiator terbaik
kedua di dunia”.83
“Merokok sebagai sarana
persahabatan”. Untuk menjalin tali
persahabatan rokok merupakan sarana
yang tepat. Karena rokok mudah dibawa
kemana saja, di rumah-rumah
disediakan rokok untuk menghormati tamu,
demikian pula di warung-warung kopi
disediakan rokok dari berbagai merek
untuk memberikan kepuasan kepada
pelanggannya. Kadangkala di kantor-kantor
juga disediakan rokok tidak peduli
apakah di ruangan itu telah dipasang AC atau
kipas angin. Orang lebih enjoy bila
ditemani rokok. Di pesta-pesta atau acaraacara
lain orang-orang senantiasa saling
menawarkan rokok. Bahkan orang yang
biasanya tidak merokok ikut-ikutan
merokok demi menghormati sahabatnya.84
“Merokok Dapat Meningkatkan Etos
Kerja” orang yang sudah
terbiasa bekerja sambil merokok akan
kelihatan kurang bersemangat jika
ditangannya tidak ada sebatangpun
rokok untuk dihisap. Perhatikan saja
bagaimana etos kerja para pegawai
atau buruh di negeri ini. Kebanyakan mereka
selalu merokok di waktu kerja, kuli
bangunan bekerja sambil merokok. Nelayan
merokok di atas perahunya yang
kadangkala asap rokok itu telah bercampur
dengan udara yang sudah dikotori
oleh asap mesin. Pegawai merokok di ruang
kerja yang ber AC. Begitu pula
dosen, guru, bahkan kyai mengajar sambil
merokok. Alasan mereka sama, “tidak
semangat kalau tidak merokok”. Alas an
ini terus saja dipertahankan
sehingga rokok menjadi kebutuhan primer,
konsumen rokok menjadi semakin
meningkat. Sementara kebutuhan primer
seperti makanan pokok, susu, sayur,
dan buah kurang terpenuhi bahkan
terabaikan sama sekali. Padahal
tubuh manusia setiap hari memerlukan asupan
makanan yang bergizi untuk
mempertahankan dirinya dari serangan suatu
penyakit.
83 Suryo Sukendro, “Filosofi Rokok”
Sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus,
2007), hal. 88
84 K.H. Ghufron Maba, Ternyata Rokok
Haram, (Surabya: PT Java Pustaka, 2008), hal.13
C. Aspek Kaidah Hukum Islam dalam
Menganalisa Kontroversi Seputar
Rokok
Sampai kapanpun hukum rokok dalam
Al-Qur’an atau al-Hadits tidak
secara jelas ada karena benda
tersebut memang belum ada di jaman Rasulullah
saw. Untuk itu, dalam menganalisa
hukum rokok kita dipersilahkan
menggunakan jalan ijtihad yang
merupakan salah satu cara yang utuh dalam
menetapkan hukum rokok. Ada beberapa
kaidah untuk menjembatani masalah
ini:
1. Menggunakan Kaidah Qiyas dalam
Menetapkan Hukum Rokok
Hukum rokok bisa kita qiyaskan
(analogikan) dengan ayat:
ولا تلقوا بأيدآم إلى التهلكة ....
“dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan”.85
Orang yang merokok disamakan dengan
orang yang menjatuhkan
dirinya ke dalam kebinasaan. Karena
di dalam rokok mengandung banyak
racun yang berbahaya yang memicu
timbulnya berbagai macam penyakit
seperti serangan hipertensi,
jantung, stroke, bahkan yang lebih
membahayakan lagi seperti kanker
paru-paru. Berapa banyak jiwa yang tidak
bisa diselamatkan setelah dirinya
menderita penyakit tersebut. Oleh sebab itu,
jauh-jauh hari Rasulullah saw
memberi peringatan bahaya racun sebagaimana
sabdanya:
ومن شرب سما فقتل فهو يتحساه فى نار
جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا.
“dan barangsiapa minum racun lalu
mati, maka dia akan
merasakan (sakitnya) racun
tersebut di neraka jahannam dalam keadaan
kekal selamanya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum rokok bisa kita qiyaskan
dengan ayat:
85 Q.S. Al-Baqarah (2): 195
الذين يتبعون الرسول النبى الأمى الذى
يجدونه, مكتوبا عندهم فى التورة
والإنجيل يأمرهم بالمعروف وينههم عن
المنكر ويحل لهم الطيبت ويحرم
عليهم الخبئث.
“(yaitu) orang-orang yang
mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis
di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk.”86
Kata al-khaba’its seperti
dalam ayat tersebut adalah bentuk plural
dari kata al-khabaits yang
menurut Kamus Arab Indonesia yang disusun oleh
Prof. DR. H. Irfan Zidny, M.A., dkk.
Memberikan arti: yang keji, yang
menyakitkan, yang merugikan, yang
tidak enak, yang berbau busuk, yang
najis, dan segala sesuatu yang
haram.
Dengan demikian, rokok dapat
disamakan dengan sesuatu yang
khabaits. Karena, rokok selain merugikan diri si perokok juga merugikan
orang lain. Jenis-jenis sesuatu yang
masuk dalam kategori khabaits ini wajib
dihindari sejauh mungkin dari
kehidupan ini sehingga yang tampak hanyalah
segala yang baik. Dalam hal ini
Allah berfirman:
ولاتقربوا الفواحش ما ظهر منها وما
بطن ...
“dan janganlah kamu mendekati
pebuatan-perbuatan yang keji,
baik yang tampak di antaranya
maupun yang tersembunyi.”87
86 Q.S. Al-A’raf (7) : 157
87 Q.S. Al-An’am (6) : 151
Menurut nash Al-quran, dalam khamar
terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat. Beberapa
manfaat yang terdapat dalam khamar adalah
manfaat secara ekonomi, dari segi
perdagangan dan keuntungannya di
beberapa daerah. Mereka menanam
keuntungan berjuta-juta. Manfaat inilah
yang banyak menggiurkan kebanyakan
manusia pada zaman sekarang untuk
merusaha menjualbelikan khamar.
Mereka menduga, sesungguhnya khamar
itu, mereka mendapat uang. Inilah
suatu manfaat yang penting.
Tetapi, syara yang lurus
menghilangkan manfaat ini dan Islam
tidak memberi pertimbangan karena di
belakang khamar terdapat dosa yang
besar dan mudarat. Mudaratnya bagi
seseorang, bagi keluarga, dan bagi
masyarakat umum.
Oleh karena itu, para pemabuk tidak
ada nilainya, tidak bisa
bertahan di medan tempur, tidak bisa
memukul musuh, tidak mempunyai
semangat untuk mengibarkan
panji-panji Islam. Dengan demikian, bahaya
khamar kepada pribadi seseorang,
kepada keluarga, dan kepada jemaah
adalah bahaya yang tidak diragukan
lagi.
Kaidah Islam yang diperoleh dari
ayat yang mulia ini adalah,
sesungguhnya, setiap perkara yang
keadaan bahayanya lebih besar daripada
manfaatnya, maka perkara itu haram.
Islam hanya menyuruh melakukan
perkara yang manfaatnya lebih besar
daripada bahayanya. Islam
mengharamkan perkara yang bahayanya
murni atau lebih besar daripada
manfaatnya.
Adapun mengenai kapan khamar itu
diharamkan, diketahui bahwa
diharamkannya khamar itu secara
berangsur, sebagai berikut:
Ayat yang pertama diturunkan
mengenai khamar adalah firman
Allah swt.,
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما
إثم آبير ومنافع للناس وإثمهما أآبر
من نفعهما.
“Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi.
Katakanlah, pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”88
Kemudian, firman Allah swt. Dalam
surat An Nisa
لا تقربوا الصلاة وأنتم سكارى
“janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk.”89
Kemudian khamar diharamkan dengan
qhat’i (pasti) dalam surat Al
Maaidah.
يأيها الذين امنوا انما الخمر والميسر
والانصاب والازلام رجس من عمل
الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون انما
يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة
والبغضاء فى الخمر والميسر ويصدآم عن
ذآر الله وعن الصلاة فهل أنتم
منتهون.
“hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya khamar, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan
setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.
Sesungguhnya, setan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian diantara kamu lantaran
khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang. Maka, berhentilah
kamu dari mengerjakan perkara itu.”90
2. Menggunakan Kaidah Istishab
dalam Menetapkan Hukum Rokok
Istishab menurut ulama usul fikih
ialah melanjutkan berlakunya
hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena suatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang
menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi atau
mengubah hukum-hukum itu.
Kaidah usul itu berbunyi:
88 Q.S. Al-Baqarah (2) : 219
89 Q.S. An-Nisa (4) : 43
90 Q.S. Al-Maaidah (5) : 90-91
الا صل فى الأشياء الإباحة
Maksud dari kaidah ini adalah, bahwa
hukum asal dari sesuatu
yang bermanfaat adalah mubah (boleh
dipergunakan) dan hukum asal dari
sesuatu yang memudharatkan adalah
haram. Melalui kaidah ini seluruh
hukum dianggap berlaku sampai ada
dalil lain yang mengubahnya. Maka
berkaitan dengan rokok yang sudah
dianggap sebagai sesuatu yang memudharatkan
maka hukumnya tidak boleh
dipergunakan sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa rokok bermanfaat
bagi kesehatan.
3. Menggunakan Kaidah Maslahah
Mursalah dalam Menetapkan Hukum
Rokok
Maslahah mursalah menurut ulama usul
fikih ialah prinsip
kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan dalam menetapkan hukum suatu
masalah. Atau perbuatan yang
bermanfaat dalam upaya memelihara tujuantujuan
syariat, yaitu menolak mudharat dan
meraih manfaat.
Kaidah usul berbunyi:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Maksud kaidah ini ialah menghindari
kerusakan harus didahulukan
daripada mengambil manfaat. Dengan
demikian, seandainya ada yang berkata
bahwa rokok ada manfaatnya, maka
harus ditimbang masak-masak mana
yang lebih besar manfaat atau
mudharatnya. Tentu saja, dalam kasus seperti
ini harus ada pembuktian yang kuat.
Pembuktian yang dimaksud adalah
mengacu pada penelitian ilmiah
tentang rokok dari sudut pandang medis.
Oleh sebab itu, berdasarkan kaidah
maslahah mursalah kita
berupaya semaksimal mungkin menolak
rokok dalam arti yang lebih luas,
yaitu tidak mengkonsumsi rokok,
tidak menjual atau membuatnya atau
bahkan memberikan sanksi hukum yang
seberat-beratnya terkait dengan
rokok seperti yang telah diterapkan
pada kasus khamr dan narkoba.
Andaikan saja rokok dan mudharatnya
sudah dikenal di jaman
Rasulullah SAW, maka beliau sudah
pasti mengambil tindakan yang lebih
tegas lagi sebagaimana masalah khamr
yang semula belum ada ketetapan
hukum sehingga setiap orang boleh
menikmatinya.
D. Aspek Pendapat Ilmuwan Muslim
Nahdhatul Ulama
Nahdhatul Ulama (NU) sejak dulu
menganggap merokok masih
tergolong makruh. Kalau dari dulu di
NU hukumnya makruh tidak sampai
haram. Karena itu berdasarkan
tingkat bahayanya yang relatif. Jadi tidak sampai
haram, ujar ketua umum Pengurus
Besar NU Hasyim Muzadi.
Menurut Hasyim, merokok beda dengan
minuman keras yang
hukumnya memang signifikan haram.
Orang merokok punya relativitas, ada
yang kuat dan ada yang tidak kuat.
Ada relativitas dari perokok dan pada
bahayanya. (Sumber: Setelah
diringkas, Tribun Kaltim, 27 Januari 2009).
Fatwa MUI haram merokok yang
dikeluarkan Majelis Ulama
Indonesia harus disikapi dengan
sangat hati-hati oleh pemerintah. Fatwa itu
dianggap mengancam industri rokok
yang saat ini masih menghidupi jutaan
tenaga kerja.
Badan Penagawas Obat dan Makanan
(BPOM) juga diminta untuk
tidak memberi label haram pada
rokok. Bila ada label haram, maka yang dituai
justru jutaan tenaga kerja akan
menganggur.
Sekretaris Jenderal Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO)
Djimanto menjelaskan, industri rokok
di Indonesia hingga hulu ke hilir telah
menyerap tenaga kerja sebanyak 12
juta orang. Dan yang paling terancam adalah
pada tingkat petani tembakau dan
produsen rokok yang juga melibatkan jutaan
tenaga kerja.
MUI dalam sidang tahunan di Padang,
Sumatera Barat (25 Januari
2009) mengeluarkan fatwa untuk
kegiatan merokok pada anak-anak, pengurus
MUI, perempuan hamil, dan merokok di
tempat umum. MUI juga
mengharamkan yoga yang mengndung
ritual agama tertentu, dan Golongan
Putih (golput: yakni orang yang
tidak ikut memilih ketikaPemilu).
Selain itu, Djimanto juga meminta
agar MUI dan Depnakertrans turut
bertanggung jawab terhadap efek dari
fatwa tersebut. Bila MUI memberi fatwa
haram, maka mereka juga harus ikut
bertanggung jawab bila ada banyak
pengangguran karena PHK dari
perusahaan rokok. Setidaknya sejak sekarang
sudah ada antisipasi untuk
mencarikan lahan pekerjaan yang lain.91
Muhammadiyah
Secara resmi, Muhammadiyah belum
membahas fatwa MUI itu, tapi
sesuai metodologi hukum dalam
Muhammadiyah, ya akan kesana (haram) juga,
“kata Koordinator Majelis Tarjih,
Tajdid dan Tabligh PWM Jawa Timur Saad
Ibrahim di Surabaya,(Rabu 28 Januari
2009)”.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi
rencana MUI mengeluarkan
fatwa haram merokok bagi anak-anak,
remaja, dan wanita hamil. Menurut Saad
Ibrahim, Al-Qur’an dan Hadits Nabi
memang tidak secara langsung menyebut
rokok dan menghukuminya dengan
haram, namun para ulama mempunyai
metodologi “nisbat”
(turunan/rujukan) dalam menentukan hukum sesuai ajaran
agama.
Al-Qur’an memang hanya melarang judi
dan khamar (alkohol), tapi
Al-Qur’an menyebutkan alasan hukum
haram untuk judi dan khamar yakni
segala hal yang mudharatnya lebih besar
dari manfaatnya adalah haram, jelas
Saad.
Dengan nisbat (merujuk) pada alasan
itu, hukum yang sama juga dapat
diterapkan untuk kasus lain seperti
rokok. Jadi, kalau mudharat dari merokok itu
lebih besar, maka merokok adalah
haram.
Namun, katanya, Muhammadiyah berbeda
dengan MUI, karena
Muhammadiyah menilai hukum haram
merokok itu bersifat umum, bukan
seperti MUI yang mengkhususkan
kepada anak kecil, remaja, wanita hamil, dan
merokok di tempat umum.
Bagi Muhammadiyah, hukum merokok itu
haram, sedangkan hukum
merokok untuk anak kecil, remaja,
wanita hamil, dan merokok di tempat umum
91 http://www.organisasi.org.diakses
25 Juni 2009
itu lebih haram lagi. Karena
mudharatnya lebih meningkat lagi. Jadi merokok di
rumah juga tetap haram.
Selain itu, Muhammadiyah juga
berbeda dengan MUI untuk orangorang
tertentu. Hukum haram itu akan
berubah menjadi sebaliknya (halal) bagi
orang-orang tertentu yang dapat
membuktikan secara ilmiah bahwa dirinya tidak
mudharat bila merokok.
Itu sama dengan PSK (pekerja seks
komersial), apakah PSK itu boleh
berzina dengan alasan untuk
menghidupi anak-anaknya. Jadi, apa yang sudah
dihukumi haram itu tetap haram, tapi
pemerintah perlu menyiapkan solusi secara
bertahap. Ia menambahkan pemerintah
perlu menyiapkan pabrik lain yang dapat
menyerap tenaga kerja cukup banyak.
Kalau tanaman opium saja dapat diubah,
masa mengalihkan pabrik rokok ke
pabrik lain tidak bisa.92
Ahmad Rofik
Guru besar hukum Islam IAIN Wali
Songo Semarang-Ahmad Rofikmemandang,
dalam mengeluarkan fawa haram rokok,
Majelis Ulama Indonesia
(MUI) harus mempertimbangkan
berbagai hal dan melakukan kajian mendalam
serta matang.
Guru besar hukum Islam itu
mengatakan, status hukum rokok
memang tidak memiliki dasar yang
pasti, baik di al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Namun selama ini, kebanyakan ulama
menyepakati hukum rokok adalah
makruh.
Memang sudah pernah dilakukan
kampanye anti rokok, itu pun hanya
di ruangan ber AC. Bahkan kampanye
dalam bungkus rokok juga dilakukan, tapi
hasilnya tidak efektif, ungkap Ahmad
Rofik usai mengikuti acara Ijtimaul
Ummah di Wisma Pangeran, Jalan KH
Ahmad Dahlan, Kota Padang Panjang,
Sumatera Barat, Sabtu (24 01 2009).
Dalam permasalahan rokok,
permasalahannya seperti lingkaran setan
yang saling interpendensi.
Diantaranya ada perusahaan rokok, karyawan,
pemerintah, iklan, beasiswa, dan
lingkungan sosial, ungkap guru besar ini.
92
http://www.muhammadiyah.id.com.diakses 25 Juni 2009
Dia menyebutkan sebagai bahan
perbandingan, PT Djarum Kudus
mampu menampung tenaga kerja
sebanyak 77.000 orang dan menyumbangkan
dana lewat cukai setiap hari sebesar
Rp 27 miliar. Nah jika dihitung dalam angka
waktu setahun terkumpul Rp 9,4
triliun, ini baru dari cukainya.
Untuk tahun 2006/2007, sambung Ahmad
Rofik, PT Djarum
menyumbang 2,7 persen dari total
domestik bruto APBN. Bahkan upah buruh
rokok per tahun itu mencapai Rp 450
miliar. Jumlah itu lebih besar dari belanja
pemerintah Kudus yang hanya Rp 350
miliar, bebernya.
Jika dilihat secara nasional, dana
APBN yang diterima dari cukai
rokok mencapai Rp 52 triliun per
tahun. Jumlah ini juga tidak bisa tertandingi
dengan penerimaan royalti PT
Freeport yang hanya Rp 15 triliun per tahun.
Oleh sebab itu, MUI dalam
memfatwakan haram rokok setidaknya
mempertimbangkan nasib para buruh
dan karyawan pabrik rokok. Jadi harus
diperhatikan, karena akan berdampak
timbulnya masalah sosial ke depan.
KH. Ahmad Munif Suratmaputra,
MA93
Hukum merokok tidak disebutkan
secara jelas dan tegas oleh Al-
Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu,
fuqaha mencari solusinya melalui ijtihad.
Sebagaimana layaknya masalah yang
hukumnya digali lewat ijtihad, hukum
merokok diperselisihkan oleh fuqaha.
Pendapat ini disampaikan oleh Sayyid
Alawi bin Sayyid Ahmad as-
Saqqaf tanpa menyebutkan siapa
ulamanya.
Bisa haram merokok apabila
membahayakan kondisi ekonomi atau
kesehatan seseorang. Ia tak punya
duit, makan saja susah. Dalam kondisi
semacam ini bisa haram. Demikian
seseorang yang kesehatannya akan
terganggu karena merokok. Baginya
bisa dihukumi haram. Bisa makruh apabila
efek negatifnya tidak fatal. Bisa
mubah bagi seseorang yang sehat, banyak uang,
sehingga dengan merokok, ekonomi dan
kesehatannya tidak akan terganggu.
Bisa sunat atau wajib sesuai dengan
illat yang melingkupinya.
93 Anggota Komisi Fatwa MUI,
Pembantu Rektor I IIQ Jakarta, Pimpinan Pesantren Nurul Zahro
Depok Jawa Barat.
Ada seseorang yang kalau merokok ia
mendapatkan inspirasi dan kuat
dalam menulis karya ilmiah. Tetapi
tanpa merokok penanya menjadi tumpul dan
semangatnya menjadi mundur. Dalam
kasus semacam ini tentu bisa wajib atau
sunat tergantung tingkat
kebutuhannya.
Seorang ulama guru penulis pernah
bercerita bahwa (alm) Syekh
Yasin al-Fadani, seorang ulama besar
Indonesia asal Padang yang mukim di
Makkah kalau mengarang kitab selalu
dengan merokok. Kenapa demikian?
Karena dengan merokok akan
mendapatkan inspirasi dan semangat. Nah orang
semacam ini tentu bisa wajib dan
minimal sunat. Dengan merokok beliau tidak
terganggu kesehatan dan kantongnya.
Tetapi bagi orang yang sampai kecanduan
atau israf dalam merokok, misalnya
sehari habis sekian bungkus, tentu bisa
menjadi haram.
Argumentasi kelompok ini adalah
paduan dari dua kaidah:
- والأصل فى الأشياء الإباحة
- الحكم يدور مع علته وجوبا و عدما.
Sebagaimana layaknya hasil ijtihad
semua pendapat di atas statusnya
dhanni sebab adillah yang dipergunakan
oleh masing-masing pihak dilalahnya
tidak ada yang qath’i. dalam hal ini
berlaku prinsip :
رأينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا
خطأ يحتمل الصواب
Dan Kaidah:
الإجتهاد لا ينقض بالإجتهاد
Masing-masing argumentasi yang
mereka pergunakan mengandung
kelemahan. Lebih dari itu, tidak
tepat kalau dalam hal ini digeneralisasi. Sebab
kondisi seseorang tidaklah sama.
Dengan demikian pendapat keempat layak
dipertimbangkan. Untuk itu fatwa
yang menyatakan haram mutlak atau mubah
mutlak tidaklah tepat.
Sisi lain yang perlu kita
pertimbangkan adalah terjadinya polarisasi di
masyarakat antara yang menghendaki
diharamkan dan sebaliknya. Hal ini perlu
menjadi pertimbangan tersendiri.
Demikian juga seandainya kita mengambil
pendapat yang menyatakan haram
mutlak ada yang perlu kita pertimbangkan.
Pertama, akan efektifkah fatwa itu
atau hanya akan menjadi fatwa yang mubazir.
Kedua, seandainya benar-benar
dipatuhi bagaimana nasib sekian banyak
karyawan pabrik rokok yang harus
ditutup karena mematuhi fatwa MUI?
Bagaimana nasib sekian banyak petani
tembakau yang kebanyakan muslim?
Sisi lain yang menjadi bahan
pertimbangan ialah kendati merokok itu
jelas mengganggu dan membahayakan
kesehatan tetapi kita tidak pernah
mengetahui secara pasti apakah
seseorang itu meninggal gara-gara rokok atau
karena faktor yang lain. Kyai-kyai
kita banyak yang menjadi perokok berat,
tetapi kok sehat-sehat saja dan
umurnya juga panjang. Demikian juga kendati
merokok itu mengandung aspek negatif
terkait dengan ekonomi dan keuangan,
tetapi kita belum pernah mendengar
ada orang jatuh miskin gara-gara rokok.
Yang jelas, rokok mengandung nikotin
yang membahayakan
kesehatan. Dan perokok tanpa
disadari telah membakar sekian fulusnya secara
sia-sia. Pabrik rokok membuka
lapangan pekerjaan dan cukai yang cukup besar.
Rokok dan merokok memang ada manfaat
dan mafsadatnya. Mana yang lebih
besar di antara keduanya perlu
diadakan penelitian, agar ijtihad untuk
menentukan hukumnya mendekati
kebenaran.
Bahwa rokok banyak mengandung
mudharat baik terkait dengan
kesehatan atau keuangan banyak
diakui oleh banyak pihak. Tetapi memastikan
bahwa hukumnya haram untuk semua
orang memang aplikasinya bisa menjadi
sulit. Apalagi dalil yang dijadkan
landasan bagi mereka yang menyatakan haram
tetap mengandung sisi-sisi kelemahan
dalam istidlal.
Demikian juga menyatakan secara
pasti hukumnya mubah atau
makruh bagi setiap orang juga sulit
dalam aplikasinya, mengingat kondisi
seseorang tidak selalu sama,
sehingga hukum yang akan dikenakan kepadanya
pun tidak dapat disamakan. Apalagi
hal ini merupakan hasil ijtihad yang
statusnya tetap dhanni. Sisi lain
dari segi argumentasi juga mengandung
kelemahan. Untuk itu menurut hemat
penulis pendapat keempat lebih bisa kita
terima. Dari sinilah maka masalah
rokok menurut hemat penulis tidak perlu
difatwakan. Akan lebih bagi kalau
Ulil Amri/Pemerintah yang mengaturnya agar
dampak negatifnya bagi kepentingan
umum dapat dihindarkan, paling tidak
diminimalisir. Untuk itu Pemda yang
telah memiliki Perda tentang rokok, seperti
DKI perlu diefektifkan dan bagi Pemda
yang belum mempunyai dihimbau agar
segera memiliki Perda tentang aturan
merokok dan dilaksanakannya secara
konsisten serta konsekuen.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
penulis lakukan di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan beberapa
hal:
1. MUI dalam mengeluarkan fatwa
hukum haram merokok menggunakan dasardasar
hukum yaitu; Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Dan disusuli dengan
penelitian pendapat para imam
madzhab dan fuqaha yang telah melakukan
penelaahan mendalam tentang masalah
serupa.
2. Faktor yang melatarbelakangi
lahirnya fatwa tentang hukum haram merokok
yaitu: faktor sosial dan faktor
politik. Faktor sosial yaitu Dalam Anggaran
Dasar MUI dapat dilihat bahwa
majelis diharapkan melaksanakan tugasnya
dalam pemberian fatwa-fatwa dan
nasihat, baik kepada pemerintah maupun
kepada kaum muslimin mengenai
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
keagamaan khususnya dan semua
masalah yang dihadapi bangsa umumnya.
MUI juga diharapkan menggalakkan
persatuan di kalangan umat Islam,
bertindak selaku penengah antara
pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili
kaum muslimin dalam permusyawaratan
antar golongan agama. Faktor politik
yaitu Sebuah produk keputusan maupun
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
manapun pasti akan sangat terikat
dengan setting sosio-kultural dan sosiopolitik
yang berada di sekitarnya. Faktor
ini pulalah yang menyebabkan sifat
dari sebuah fatwa maupun keputusan
sebuah lembaga sangat bersifat
sosiologis. Asumsi ini sebenarnya
berawal dari latar belakang Majelis Ulama
Indonesia sendiri yang lahir dari
dan untuk kepentingan politik.
3. MUI mengeluarkan fatwa tentang
haram merokok bagi: anak-anak, wanita
hamil, dan di tempat umum.
Berdasarkan ijtihadnya dengan menggunakan
metode Qiyas.
B. Saran
1. MUI dalam mengeluarkan produk
fatwa hendaknya harus melihat dan
memperhitungkan faktor masyarakat
umum. Kondisi sebuah obyek fatwa
harus benar-benar bisa dipahami dan
diteliti terlebih dahulu. Jadi fatwa itu
yang betul-betul menjadikan
kepercayaan publik dan sesuai keperluan publik.
Fatwa juga harus berorientasi pada
kearifan dalam memberikan informasi
yang bersifat hukum. Oleh sebab itu,
bila sebuah fatwa diduga akan
menimbulkan keburukan, maka
semestinya si mufti atau pemberi fatwa
menahan diri untuk tidak mengedarkan
fatwanya tersebut. Fatwa perlu
ditinjau kembali untuk dilihat
masalah dan mudharatnya di tengah
masyarakat.
2. MUI jangan terjebak dengan
politik praktis untuk mengeluarkan sebuah
fatwa, karena MUI berperan sebagai
pemberi fatwa bagi umat Islam baik
diminta maupun tidak diminta.
Sebagai lembaga pemberi fatwa Majelis
Ulama Indonesia harus mengakomodasi
dan menyalurkan aspirasi umat Islam
Indonesia yang sangat beragam aliran
paham dan pemikiran.
3. Bahwa tujuan umum syar’i dalam
mensyariatkan hukum ialah merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan
ini, menarik keuntungan dari mereka
dan melenyapkan bahaya dari mereka.
Jadi, seorang ahli hukum muslim tidak
mensyariatkan hukum kecuali untuk
merealisir kemaslahatan manusia. Dan
dia tidak membiarkan maslahatan yang
dikehendaki oleh kondisi manusia
dengan tidak mensyariatkan hukum
demi maslahat itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. 2005. Ushul
Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Atho Mudzhar, Muhammad. 1993. Fatwa-fatwa
Majelis Ulama Indonesia. Jakarta:
INIS.
Aditama, Tjandra Yoga. 1992. Rokok
dan Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Abd. Fatah, Rohadi. 1991. Analisa
Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
Djauharudin. 1994. Madzhab-madzhab
dalam Islam. Bandung: Fakultas Syariah
IAIN Sunan Gunung Jati.
Daud Ali, Mohammad. 2004. Hukum
Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Eriyanto. 2003. Analisis Wacana.
Yogyakarta: LKIS.
Firdaus, Robitul. 2008. Menggagas
Konsep Maslahat Ala Indonesia. Skripsi Sarjana.
Yogyakarta: Falultas Ilmu Agama
Islam UII.
Dahlan, Zaini. 1999. Qur’an Karim
dan terjemahan. Yogyakarta: UII Press.
Istoqomah, Umi. 2003. Upaya
Menuju Generasi tanpa Merokok. Surakarta: CV Setia
Aji.
Jaya, Muhammad. 2009. Pembunuh
Berbahaya itu Bernama Rokok. Yogyakarta:
Riz’ma.
Khan, Elayne dan A. Ruanitsky,
David. 1996. 1001 Cara Mengungkap Kepribadian.
Jakarta: Dahara Prize.
Maba, K.H. Ghufron. 2008. Ternyata
Rokok Haram. Surabaya: PT Java Pustaka.
Mangoenprasodjo, A. Setiono dan
Hidayati, Sri Nur. 2005. Hidup Sehat Tanpa
Rokok.
Yogyakarta: Pradipta Publishing.
Muhammad, Abu. 1998. Rokok
Haramkah Hukumnya. Jakarta: Gema Insani.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul
Fiqh II. Yogyakarta: Dhana Bakti Wakaf.
Nainggolan. 1990. Anda Mau
Berhenti Merokok? Pasti Berhasil. Bandung:
Indonesia Publishing House.
Rohidin. 2009. Studi tentang
Paradigma MUI dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat
terhadap Aliran Keagamaan dan
Kaitannya dengan Prinsip-prinsip HAM.
Yogyakarta: DPPM UII.
Schacht, Joseph. 2003. Pengantar
Hukum Islam. Yogyakarta: Islamika.
Sukendro, Suryo. 2007. Filosofi
Rokok. Yogyakarta: Pinus.
Wahab Khallaf, Abdul. 1994. Ilmu
Ushhul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Wahab Khallaf, Abdul. 1985. Kaidah-kaidah
Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Yunus BS, Muhammad. 2009. Kitab
Rokok “Nikmat dan Mudharat yang
Menghalalkan atau Mengharamkan. Yogyakarta: CV. Kutub Wacana.
Qardawi, Yusuf. 1996. Problematika
Islam Masa Kini. Bandung: Trigenda Karya.
. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer.
Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press.
. 1995. Ijtihad Kontemporer Kode
Etik dan Berbagai Penyimpangan.
Surabaya: Risalah Gusi.
Data Software, Internet, Dan
Majalah
MUI. 2000. Wawasan dan PD/PRT
Majelis Ulama Indonesia.
MUI. 2009. Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa Se Indonesia III
http://www.akibatmerokok.com.diakses
1 Juni 2009
http://www.antara.co.id.diakses 1
Juni 2009
http://www.cerminduniakedokteran.com.diakses
3 Juni 2009
http://www.bpkp.go.id.diakses 1 Juni
2009
http://www.detiknews.com.diakses 3
Juni 2009
http://www.depkes.com.diakses 3 Juni
2009
http://www.halalguide.info.diakses 3
Juni 2009
http://www.images.google.co.id.diakses
5 Juni 2009
http://www.keluarga.com.diakses 5
Juni 2009
http://www.kesehatan.com.diakses 9
Juni 2009
http://www.MUI.com.diakses 9 Juni
2009
http://www.news.okezone.com.diakses
9 Juni 2009
http://www.organisasi.org.diakses 9
Juni 2009
http://www.pikiranrakyat.com.diakses
9 Juni 2009
http://www.sejarahrokok.html.diakses.10
Juni 2009
http://www.suarapembaruan.com.diakses
12 Juni 2009
http://www.tempointeraktif.com.diakses
15 Juni 2009
http://www.van.9f.com/hukum-rokok.htm.diakses 15 Juni
2009