STUDI ISLAM PENDEKATAN
ANTROPOLOGI
OLEH: SOBARUDIN
1. Pendahuluan
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat
diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologis dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari
manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari
tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan
kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen
antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya
dengan berbagai budaya.
Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam
kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common
sense dan religious atau mystical event. Dalam satu sisi common
sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan
pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious
sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan
kemampuan nalar maupun teknologi.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses
dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena
realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah
dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah
terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi
sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
2. Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik
Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang
agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut
kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi
antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan
pesat.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan
budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam
hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama.
Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang
sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi
dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia,
tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini
sebagai sebuah "takdir sosial" yang tak perlu lagi dipahami.
Sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat
dielakkan agama tanpa pengaruh budaya olah
pikir manusia tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha
manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha
manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan
mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti
oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih
adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama
sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang
ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan
agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama
berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas
sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan
sosial dan transformasi sosial..
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi
dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist,
structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam
antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme
yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian
melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat
Walaupun definisi agama ini sangat sederhana, definisi ini
menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme
sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini
kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju
monoteisme.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam
masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris.
Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat saling terikat satu
dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama
dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai
penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat
solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme.
Dalam setiap kali menyelesaikan
persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan
penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di
daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi
hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya
masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke
ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan
dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan
teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka
berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi
dengan kekuatan spiritual.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada
dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak
secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim
mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk
mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan
pandangan ritual sebagai simbol.
Dalam
pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada
argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama
dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam
kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam
kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal
yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia,
maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan
agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka
bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas
manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di
dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak
akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini
terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian
antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga
terlihat dari pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan.
Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang" untuk menjelaskan konsep
kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk
pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur'an
menggunakan kata "orang sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk
pada pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu
termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep
agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya
adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi
manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas
manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan (agama) dalam
realitas empiris. Kenyataan
bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka
diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama.
3. Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan
pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz,
"Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik
tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian
agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada
teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi
kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu
system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya
yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz
berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk
karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru,
tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk
meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam
The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita
bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java
memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga
bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik
maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin
melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan
kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari
interaksi dengan budaya lokal.
4. Pendidikan Islam Dalam Pendekatan
Antropologi
Antropologi adalah suatu ilmu yang
memahami sifat-sifat semua jenis manusia secara lebih komprehensif. Antropologi pertama
kali dipergunakan oleh kaum Misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani
dan bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap
negar-negara diluar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan
sebagai suatu hal untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi
antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di
negara-negara yang masuk dalam kategori Negara ketiga (Negara berkembang)
sangat urgen sebagai “pisau analisis” untuk pengambilan kebijakan (policy)
dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang cakupan
studinya cukup luas, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu
menelaah dan menguasai antropologi secara sempurna dan global. Sehingga,
antropologi terfregmentasi menjadi beberapa bagian yang masing-masing ahli
antropologi mengkhususkan dirinya pada spesialisasi bidangnya masing-masing.
Pada tataran ini, antropologi menjadi amat plural, sesuai dengan perkembangan
ahli-ahli antropologi dalam mengarahkan studinya untuk lebih memahami
sifat-sifat dan hajat hidup manusia secara lebih komprehensif. Masih berhubungan dengan ini pula, ada
bermacam-macam antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi politik,
antropologi kebudayaan, antropologi agama, antropologi pendidikan, antropologi
perkotaan, dan lain sebagainya
Dan dalam studi kependidikan yang
dikaji melalui pendekatan antropologi, maka kajian tersebut masuk dalam sub
antropologi yang bias dikenal menjadi antropologi pendidikan. Artinya apabila
antropologi pendidikan dimunculkan sebagai suatu materi kajian, maka yang objek
dikajiannya adalah penggunaan teori-teori dan metode yang digunakan oleh para
antropolog serta pengetahuan yang diperoleh khususnya yang berhubungan dengan
kebutuhan manusia atau masyarakat. Dengan demikian, kajian materi antropologi
pendidikan, bukan bertujuan menghasilkan ahli-ahli antropologi melainkan
menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pendidikan melalui perspektif
antropologi. Meskipun berkemungkinan ada yang menjadi antropolog pendidikan
setelah memperoleh wawasan pengetahuan dari mengkaji antropologi pendidikan.
Karakteristik dari antropologi
pendidikan Islam adalah terletak pada sasaran kajiannya yang tertuju pada
fenomena pemikiran yang berarah balik dengan fenomena Pendidikan Agama Islam
(PAI). Pendidikan Agama Islam arahnya dari atas ke bawah, artinya sesuatu yang
dilakukan berupa upaya agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan
hidup anak didik (manusia). Sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah
ke atas, mempunyai sesuatu yang diupayakan dalam mendidik anak, agar anak dapat
membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya bagi kemampuannya
untuk menghadapi lingkungan. Masalah ilmiah yang mendasar pada Pendidikan Agama
Islam adalah berpusat pada bagaimana (metode) cara yang seharusnya dilakukan.
Sedangkan masalah yang mendasar pada antropologi pendidikan Islam adalah
berpusat pada pengalaman apa yang ditemui.
Ibnu Sina, yang kita kenal
sebagai tokoh kedokteran dalam dunia Islam ternyata juga merupakan sorang
pemerhati pendidikan anak usia dini yang merupakan pengalaman pertama anak.
Ibnu Sina banyak memaparkan tentang pentingnya pendidikan usia dini yang
dimulai dengan pemberian “nama yang baik” dan diteruskan dengan membiasakan
berperilaku, berucap-kata, dan berpenampilan yang baik serta pujian dan hukuman
dalam mendidikan anak. Dan juga yang paling urgen adalah penanaman nilai-nilai
sosial pada anak seperti rasa belas kasihan (confession) dan empati terhadap
orang lain.
5. Studi Islam Pendekatan antropologi
di Indonesia
Di Indonesia usaha para Antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial
telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java
yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi
diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang
mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam
masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan
analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara
agama dan politik..
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan
masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang
para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang
adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik
didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan
masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas
politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan
santri.
Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok
masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan
dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi
politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan
isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih
partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy
memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya
Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan
yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di
Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan
ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana
tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang
melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran
grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat.
Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama
dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan
tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama
yang dipraktikkan.
Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya
memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan
alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang
runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran
rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal" di era
posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan
budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan
dunia, menjadi sangat penting.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi
kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal.
Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama
secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek
social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat
diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama
diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan
kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal
ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris
adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama
tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian
manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia
juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang
memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial
manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi
kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik
Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu
kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan
memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan
pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk
melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral
dunia berdasarkan pada kekayaan budaya
dunia.
Kesimpulan
Kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita
arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari
konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk
mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local
konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai
tambahan wacana baru globalisasi.
Pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami
realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam
Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan
tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi
penting dalam mengetahui tentang Tuhan.
Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan
tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia
sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak
pentingnya pendekatan antropologi dalam mengkaji
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Gama Media. 2002.
2. Ahmad, Akbar S, Kearah Antropologi Islam, Jakarta:
Media Da’wah
3. Azyumardi
Azra. Pendidikan Islam: Tradisi Dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
2002.
4. Hoselitz, Bets F, Panduan Dasar
Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1988
5. Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi. Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Benang Tradisi
Dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 2004.
6.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1980
7.
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya
Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993
8. Noto Abuddin, Metodologi Studi
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004
9.
Sulaeman, Munandar, Ilmu Budaya
Dasar, Bandung: PT. Erosco, 1993