MAKALAH
PENDIDIKAN PADA
MASA PERSYARIKAT ULAMA DAN PENJELASAN SINGKAT TENTANG MUHAMMADIYAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah
Pedidikan Islam
Dosen Pengampu : Sukarman, M.Pd.I
Disusun oleh :
Nurul Huda
|
|
A. Abdul Khotib
|
|
Zuli Astuti
|
|
Uswatun Hasanah
|
|
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
UNISNU JEPARA
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Teriring
puji Syukur Kami sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
hidayatNya kepada kita semua. Sholawat dan salam kita sanjungkan kepada
Rosulullah Muhammad SAW, semoga kita semua senantiasa mendapat safaatnya.
Amin….
Alhamdulillah
berkat limpahan rahmat dan hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Pendidikan Islam yang di ampu oleh bapak Sukarman,
M.Pd.I
Penulis
menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak ,makalah
ini tidak akan bisa terwujud. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak
Sukarman, M.Pd.I. selaku dosen
pembimbing mata kuliah telaah PAI
2. Teman-teman
yang selalu mendukung dan memberikan masukan serta membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tentulah
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.
Jepara, Oktober 2015
Penyusun Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akhir-akhir ini dunia pendidikan mulai dilirik
banyak orang. Jika dilihat melalui kaca mata mahasiswa, maka jurusan pendidikan
telah menjadi daya serapan terbesar suatu kampus. Pemerintah sendiri juga telah
merumat pendidikan di Indonesia. Dalam APBN (Anggaran Pendapata Belanja
Negara) pundi-pundi rupiah telah dialirkan untuk menyukseskan dunia pendidikan.
Kemajuan yang digapai bangsa Indonesia khususnya
pendidikan tidak lepas dari sejarah bangsa ini. Berbagai organisasi-organisasi
pada zaman dahulu bahkan sebelum kemerdekaan telah berdiri untuk membangun mutu
pendidikan. Salah satu organisasi tersebut adalah Persyerikatan Ulama yang akan
kami paparkan dalam makalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana Biografi Pendiri Persyerikaan Ulama ?
- Bagaimana Awal Mula Persyerikatan Ulama ?
- Bagaimana Pengaruh didirikannya Persyerikatan Ulama terhadap Sistem Pendidikan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Pendiri Persyerikaan Ulama
Pendiri organisasi Persyerikatan Ulama adalah KH.
Abdul Halim. Beliau lahir di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka,
Jawa Barat pada tanggal 4 Syawal 1304 H/26 Juni 1887 M. Beliau merupakan ulama
besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan
kemasyarakatan, yang memiliki corak khas dimassanya. Nama aslinya adalah Otong
Syatori. Kemudian setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Abdul
Halim. Beliau dilahirkan dari hasil pernikahan kedua orang tuanya, ayahnya
bernama KH. Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya bernama
Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul Halim adalah anak terakhir dari
delapan bersaudara. Ia menikah dengan Siti Murbiyah, putri KH. Mohammad Ilyas,
pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala KANMENAG
Kapubaten sekarang).
Ia mendapat pendidikan agama sejak kecil. Pada usia
10 tahun ia sudah belajar membaca Al-Qur’an, kemudian menjadi santri pada
beberapa orang Kyai diberbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai
mencapai usia 22 tahun. Kyai yang pertama kali didatangi ialah KH. Anwar di
Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, kemudian berpindah-pindah dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1 sampai
dengan 3 tahun. Tercatat beberapa Kyai yang menjadi gurunya, antara lain:
1)
KH. Abdullah di
Pesantren Lontangjaya, desa Panjalin, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka.
2)
KH. Sijak di
Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon.
3)
KH. Ahmad
Sobari di Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan.
4)
KH. Agus di
Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Di sela-sela kehidupan pesantren, Abdul Halim
menyempatkan diri berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan
kitab-kitab pelajaran agama. Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi
langkah-langkahnya kelak dalam upaya memperbaharui sistem ekonomi masyarakat
pribumi.[1]
Kemudian pada usia 22 tahun Abdul Halim berangkat
ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di
sana selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mempelajari
tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk
mendalami pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib,
Syeikh Ahmad Khayyat dan imam serta khatib Masjidil Haram. Kemudian ketika di
sana pula ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah)
dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/ 1911 M
ia kembali ke Indonesia.[2]
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga
mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen
di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan
pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di
luar maupun dalam negeri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip.
Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari
menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya.
Selain aktivitasnya membina
organisasi, ia juga aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang
pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912, ia menjadi pimpinan Sarekat Islam
cabang Majalengka. Pada tahun 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama
yang didirikan oleh Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari
Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota
pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di
Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro
Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk
salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia ( BPUPKI / Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun
1955. Dikalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana,
pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada
melalui kekerasan.
Pada tahun 1940, ia bersama KH.
A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta
untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam.
Ketika terjadi agresi militer Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara
mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang
keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda.
Pada masa perang kemerdekaan,
K.H. Abdul Halim bergerilya bersama pejuang lainnya mempertahankan kemerdekaan
dengan basis di sekitar Gunung Ciremai. K.H. Abdul Halim langsung memimpin anak
buahnya menghadang gerakan militer Belanda (NICA). Pada waktu itulah ia
diangkat menjadi "Bupati Masyarakat" Majalengka dan memimpin rakyat
melawan NICA. Lokasi Santri Asromo, dianggap NICA sebagai pusat pertahanan TNI
dan lasykar sehingga sebagian hancur karena dibom NICA. K.H. Abdul Halim
ditangkap Belanda, juga anak dan menantunya. Namun K.H. Abdul Halim tidak mau
menyerah atau bekerja sama dengan NICA dan berhasil lepas. K.H. Abdul Halim
juga menentang gerakan Haji Sarip yang mendukung Belanda. K.H. Abdul Halim yang
anti gerakan separatis dari NKRI, kemudian diangkat menjadi panitia
penggempuran Negara Pasundan hasil rekayasa Van Mook.
Setelah perang kemerdekaan usai,
dan negara aman dan perjuangan melalui organisasi PUI dilanjutkan kembali. Pada
tahun 1952, dilakukan fusi antara Persatuan Umat Islam (PUI) dan Persatuan Umat
Islam Indonesia (PUII), meskipun K.H. Ahmad Sanusi, sahabatnya, sudah wafat
waktu itu. Fusi dilakukan tepatnya pada 5 April 1952, di Bogor. Hasil fusi
lahirlah Persatuan Umat Islam (PUI) dan K.H. Abdul Halim terpilih sebagai
Ketua.
Sejak 1951, K.H. Abdul Halim
terpilih sebagai Anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat dan tahun 1956 diangkat
menjadi Anggota Konstituante. K.H. Abdul Halim juga aktif sebagai wartawan
pula dan pernah menjadi Pemimpin Redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara
P.O., majalah As-Sjuro, majalah Pelita serta mengisi kolom "Roeangan
Hadis" di majalah Soeara MIAI. Selain itu, ia menulis sembilan buku. Dalam
buku-bukunya, K.H. Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh
toleransi, menganjurkan menjunjung tinggi akidah dan ahlak masyarakat dan tidak
menolak untuk mengambil contoh kemajuan dari Barat . Pada tahun-tahun
berikutnya kegiatan PUI banyak mendapat hambatan. Kondisi kesehatan K.H. Abdul
Halim semakin menurun, dan pada tanggal 17 Mei 1962, ia meninggal dunia di
Santi Asromo.
Mengenai pemikiran dan karyanya,
Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang
produktif. Banyak tulisan
tulisannya yang sempat
diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota
Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar
tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi militer Belanda ke dua. Di antara
karyanya adalah :
1. Risalah Petunjuk bagi Sekalian
Manusia.
2. Ekonomi dan Koperasi dalam
Islam.
3. Ketetapan Pengajaran di
Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
4. Daawatul Amal.
5. Tarikh Islam.
6. Neraca Hidup.
7. Risalah.
8. Ijtimaiyah Wailajuha.
9. Kitab Tafsir Tabarok.
10. Kitab 262 Hadits Indonesia.
11. Babul Rizqi.
Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang
masih tersisa tinggal 3 yaitu:
1. Kitab Petunjuk bagi Sekalian
Manusia.
2. Ekonomi dan Koperasi dalam
Islam.
3. Ketetapan Pengajaran di
Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
Selain itu, tulisan-tulisan Abdul
Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama,
As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di Suara
Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) dan di situ, ia
menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits. Ia juga menulis dalam lembaran-lembaran
lain yang beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan
organisasi Persyarikatan Ulama.
Di dalam tulisan-tulisan
tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya.
Meskipun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok
pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya. Pada garis
besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang
konsep al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang
bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia dan
memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini
disebut al-Salam.
Berdasarkan pengertian ini, Abdul
Halim melihat bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan
keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di
akhirat, terlebih dahulu manusia harus hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang
sejalan dengan tuntutan agama.
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran
ini, membawa Abdul Halim kepada 3 kesimpulan, yang kemudian diterapkan dalam
kehidupannya. Baik mengenai konsep keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan
yaitu; Konsep al-Salam, Konsep Santi Asromo dan Konsep Santri Lucu (santri yang
terampil).
B.
Awal Mula Persyerikatan Ulama
Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat,
sekembalinya dari Mekah, KH. Abdul Halim mulai melakukan perbaikan untuk
mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya
dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur
pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama
kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan
agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari
bambu. Pada majlis ini ia memberikan pengetahuan agama kepada para santrinya.
Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat Abdul
Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas
tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan
asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun
1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul Qulub”.
Adapun tujuan organisasi adalah membantu anggota dalam persaingan dengan
pedagang Cina, sekaligus menghambat arus kapitalisme kolonial. Dalam persaingan
itu, seringkali terjadi perang mulut dan perkelahian fisik antara anggota
Hayatul Qulub dengan pedagang Cina. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide
pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosial, ekonomi dan
kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat,
santri, pedagang dan petani.
Salah satu pemikiran penting K.H. Abdul Halim dalam
kapasitasnya sebagai ulama adalah bagaimana membina keselamatan dan
kesejahteraan umat melalui perbaikan delapan bidang yang disebut dengan
“Islah as-Samaniyah”, yaitu :
1. Islah al-Aqidah (perbaikan bidang aqidah).
2. Islah al-Ibadah (perbaikan bidang ibadah).
3. Islah at-Tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan).
4. Islah al-Ailah (perbaikan bidang keluarga).
5. Islah al-Adah (perbaikan bidang kebiasaan).
6. Islah al-Mujtama (perbaikan masyarakat).
7. Islah al-Iqtisad (perbaikan bidang
perekonomian).
8. Islah al-Ummah (perbaikan bidang hubungan umat
dan tolong-menolong).
Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat
memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan
dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh
curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang
disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim
dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya
ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai penyebab terjadinya
beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Sejak itu Hayatul Qulub
secara resmi dibubarkan namun kegiatannya terus berjalan.
Kemudian pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim
mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus
mengembangkan bidang pendidikan. Sistem pendidikan berkelas dengan lama belajar
lima tahun. Sekolah ini mula-mula mendapat kritikan dari ulama setempat namun
kemudian mendapat sambutan baik. Murid-murid datang bukan hanya dari Majalengka
tetapi juga dari Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan Tegal. Lulusannya kemudian
mendirikan madrasah di tempat asalnya.
Untuk menjaga mutu pendidikan, K.H. Abdul Halim
mengadakan hubungan dengan Jamiat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Melihat
sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong
pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan
dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu
itu), pada tahun itu juga ia mendirikan “Persyarikatan Ulama”. Organisasi ini
diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada
tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan
pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada
sektor keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan
membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan
pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa
perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk mendukung
lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan
yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.[3]
Inilah pucak pemikiran K.H. Abdul Halim di bidang
pendidikan. Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari keramaian
Kota Majalengka. Para santri selain diberi pelajaran agama juga diberi
pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok tanam,
bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain. Siswa juga wajib tinggal di
asrama selama 5 sampai 10 tahun. Pendidikan yang menekankan tiga unsur yaitu
akhlak, sosial, dan ekonomi ini ternyata banyak menarik minat masyarakat. Para
dermawan pun mengalir memberi dukungan. Santri yang dihasilkan adalah santri
lengkap yang memiliki bekal agama, ilmu pengetahuan, dan keterampilan. Pada
tahun 1932, nama sekolah diubah menjadi Madrasah Darul Ulum.
Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul
Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan
beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di
Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti
dakwahnya adalah mengukuhkan Ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh
cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan.
Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah
waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah.[4]
Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama
menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi
dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam”
(PUI), yang berkedudukan di Bandung. Dengan tujuan PUI adalah terlaksananya
syari’at Islam menurut madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Usaha untuk mencapai
tujuan itu maka PUI berusaha :
1. Menunaikan peribadatan dan menggembirakan umat
Islam dalam berbakti pada Allah SWT.
2. Memajukan pelajaran dan pendidikan Islam dalam
arti yang seluas-luasnya.
3. Menyelenggarakan dan mengadakan dakwah Islam.
4. Berikhtiyar terlaksananya kebahagiaan hidup umat
Islam.
5. Melaksanakan sosial Islam.
6. Membangunkan semangat untuk terlaksananya
peraturan dalam kalangan umat Islam.
7. Kerja sama dengan lain-lain perkumpulan dan
badan dalam memajukan keislaman.[5]
C.
Pengaruh didirikannya Persyerikatan Ulama terhadap Sistem Pendidikan
Dengan didirikanya “Persyerikatan Ulama” di
Indonesia, telah memberikan dampak yang besar bagi dunia pendidikan khususnya.
Dengan pengalaman yang telah dimiliki H. A. Halim dalam mencari wawasan ilmu,
maka tidak heran bila daya pikir beliau dalam mengembangkan sistem di Indonesia
begitu besar.
Memulai merintis perubahan pembaharuan sistem
pendidikan, dengan mendirikan banyak organisasi yang mana pada saat itu juga
harus melawan keadaan atas koloni. Dengan pembaharuannya yang beliau terapkan
dalam organisasi seperti, penghapusan sistem halaqoh, pengelompokan
belajar (kelas), tidak hanya mendapat ilmu agama namun juga ilmu lainnya,
pengajaran keterampilan ini sangat berdampak pagi perkembangan pedidikan itu
sendiri.
Kalau kita amati sekarang ini, banyak sekali
organisasi pendidikan yang meniru metode-metode yang digunakan A. Halim pada
waktu itu. Madrasah-madrasah saat ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam
kurikulumnya, tapi juga ilmu sosial, ilmu hitung dan ilmu bahasa juga
didapatkan.
Kemudian mengenai pengajaran keterampilan bagi para
santri waktu itu, juga sangat bermanfaat bagi santri setelah lulus karena tidak
bingung akan dunia pekerjaan. Ini akan mengurangi jumlah pengangguran di
Indonesia. Sekarang ini banyak sekolah yang mengadakan program Full Day
School dimana didalamnya terdapat materi keterampilan khusus.
D.
MUHAMMADIYAH
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad
Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 8 November 1912(99). Organisasi ini bertujuan
untuk memperkuat keyakinan dalam agama dan memperluas serta mempertimbangkan
pendidikan agama Islam secara modern, sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sesungguhnya di ridhoi oleh Allah SWT. Muhammadiyah di dirikan oleh faham
pembaharuan dan kebangkitan Islam yang lebih di kenal dengan reformasi dan
Modernisasi Islam. Faham ini di pimpin oleh Sayyid Jamaluddin dari Afghanistan.[6]
Organisasi ini mendirikan beberapa lembaga
pendidikan Islam untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan sebelumnya.
Selain itu, Muhammadiyah juga mendirikan beberapa masjid, menerbitkan berbagai
macam judul buku, membuat acara tabligh akbar, menerbitkan dan menyebarkan
brosur serta majalah-majalah yang berkaitan dengan pendidikan dan Agama
Islam. Banyak sekali usaha lain yang di
dirikan oleh muhammadiyah guna mencapai maksud dan tujuan dari organisasi
tersebu. Ada beberapa hal lainnya sehingga membuat Muhammadiyah bangkit dan
meluas di Indonesia.
Pada awalnya, Muhammadiyah tidak mengadakan
pembagian yang jelas terhadap semua anggotanya. Akan tetapi, ada beberapa hal
yang lebih pasti untuk di jadikan perluasan terhadap wilayah muhammadiyah. Pada
tahun 1917, muhammadiyah melakukan perluasan wilayah operasi. Perluasan sangat
di mudahkan oleh pribadi K. H. Ahmad Dahlan yang memiliki propaganda dengan
memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada pendengarnya.
Pembaharuan pertama yang di lakukan oleh K. H.
Ahmad Dahlan adalah tentang praktek seperti kiblat dan kebersihan. Sekitar
tahun 1920, perluasan Muhammadiyah kembali lagi keluar Yogyakarta. Daerah
Surabayapun sudah mengenal dan tertarik terhadap pemikiran-pemikiran
Muhammadiyah. Ini merupakan inisiatif dari ulama-ulama setempat seperti K. H.
Mas Mansyur yang kemudian menjadi ketua umumnya. Kemudian, di lihat lagi bahwa
cabang pertama yang didirikan oleh Muhammadiyah adalah di Minangkabau. Muhammadiyah selama ini dikenal punya basis yang kuat
di Propinsi Sumatera Barat. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kiprah
salah seorang tokohnya yang bernama Ahmad Rasyid Sutan Mansur, atau yang lebih
kondang dengan nama AR Sutan Mansur.
Sejatinya, sebelum Sutan
Mansur, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh
H Abdul Karim Amrullah, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di
Maninjau dan Padang Panjang. Dengan kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah
membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di
Sumatera Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru semakin pesat setelah dia
mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama
'kaum muda'.
Di samping itu, selaku
mubaligh tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan mengadakan
tabligh keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai dan Kuala
Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.
Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Muballigin
yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.
Adapun metode yang
digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Murid-muridnya
antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis
tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat),
Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.
Pada tahun 1930
diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu
keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan.
Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan
Mansur sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944.
Kemudian atas usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk
mengangkat Sutan Mansur selaku imam Muhammadiyah Sumatera.
Ketika berlangsung Kongres
Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih sebagai Ketua Pusat
Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres ke-33 di
Palembang, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada
kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat
PP Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa
kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan khittah (garis
perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan
mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu,
mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi
dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat,
konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta
membentuk kader handal.
Selain aktif di organisasi,
dia pun dikenal sebagai penulis yang produktif. Buku-bukunya antara lain
Pokok-pokok Pergerakan Muhammadiyah, Penerangan Azas Muhammadiyah, Hidup di
Tengah Kawan dan Lawan, Tauhid, Ruh Islam, dan Ruh Jihad. Buku-buku tersebut
sampai saat ini masih menjadi pegangan bagi anggota Muhammadiyah.
Dalam bidang fikih, Sutan
Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu mempermasalahkan
perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak pokok).
Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi
Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan
pendapat yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota
Muhammadiyah.
Sumbangsihnya dalam
mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat menjadikanya mendapat julukan
'Bintang Barat Muhammadiyah', setelah KH Mas Mansyur dipandang sebagai 'Bintang
Timur Muhammadiyah'. Dia pun dipandang selaku tokoh utama Muhammadiyah dari
generasi pertama, setelah KH Ahmad Dahlan, KH AR Fakhruddin, KH Ibrahim, KH
Abdul Mu'thi, KH Mukhtar Bukhari, serta KH Mas Mansyur.
Dalam tahun 1927,
Muhammadiyah kembali mendirikan beberapa cabang di daerah Aceh dan, Makassar,
Bengkulu dan Banjarmasin. Sementara alim ulama dari Muhammadiyah di kirim
sebagian untuk menyebarkan cita-cita Muhammadiyah. Akan tetapi, beberapa cabang
ini juga akan di bangun beberapa lembaga pendidikan yang bersifat permanen
seperti sekolah dan hal lainnya. Kemudian, dalam Muhammdiyah juga terdapat
beberapa kegiatan seperti : PKU (Penolong Kesengsaraan Umum), Aisyiyah
(Organisasi wanita dalam Muhammadiyah), Hizbul Watan (Gerakan Kepanduan
Muhammadiyah), dan Majlis Tarjih (Tempat Mengeluarkan Fatwa).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Persyerikatan Ulama didirikan oleh KH. Abdul Halim
yang dirintis mulai tahun 1911 M. Dimulai sejak beliau pulang seusai ibadah
haji dan mencari ilmu di Makkah. Ilmu-ilmu yang didapatkan dari pembelajarannya
melalui guru-guru besar di Mekkah beliau terapkan di kampung halaman guna
mencanangkan pembaharuan.
Dengan jerih payah usaha keras beliau, dapat
merubah sistem-sistem di Majalengka khususnya pendidikan. Dengan diterapkanya
sistem perkelasan, kurikulum baru dengan adanya keterampilan dan tidak hanya
diberi ilmu-ilmu agama saja. Kemudian beliau juga menerapkan sistem tanam saham
untuk menampung sumber dana guna menghidupi organisasi-orgaisasi yang
dinaunginya.
Perpaduan antara aqidah, akhlak dan ekonomi ini
menjadi dasar pemikiran KH. Abdul Halim dalam organisasi. Hingga saat ini
banyak madrasah-madrasah yang bisa dibilang meniru gaya Abdul Halim ini. Karna
kiprahnya pada saat itu begitu maju, tidak heran bila banyak orang yang
mencontoh pemikiran-pemikiran beliau.
E. PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat tentang Sitem
Pendidikan Islam pada Persyerikatan Ulama. Kami menyadari bahwa makalah yang
kami susun jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak kesalahan, untuk itu
kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar dalam
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita. Amiinn
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Mansur, dkk. 2005. Rekontruksi Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Departemen Agama RI.
Wahab FZh, Rochidin. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. 2004. Alfabeta : Bandung.
Yunus, Mahmud. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta : Mutiara Sumber
Widya.
_____________. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta : Hidakarya Agung.
Zuhairini, dkk. 2010. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta : Bumi Aksara.
[4] Mansur, dkk. Rekontruksi
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. ( Jakarta : Deparemen Agama RI,
2005). Hlm 68-70.
[5] Yunus Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995). Hlm
290-291.
[6]
Drs. Rochidin Wahab FZh, MPd. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
2004. Alfabeta : Bandung. Hal : 24
The Casino at Wynn - Mapyro
Hotel deals on The 강원도 출장안마 Casino 목포 출장안마 at Wynn in Las Vegas (Nevada) with Mapyro. The Casino at Wynn in Las Vegas 전라북도 출장안마 and Encore at Wynn Las Vegas Hotel Deals 상주 출장샵 & Discounts. 광양 출장안마 Rating: 4.3 · 14 reviews